Kampus Merdeka ala Nadiem: Menghancurkan atau Menguatkan?

Share

Oleh Prof. M. Budi Djatmiko

SALAH satu permasalahan terbesar pendidikan di Indonesia adalah terlalu banyak diatur dan sangat birokratis.

Pejabat kementerian senang mengatur perguruan tinggi (PT) dari ”A to Z”, tidak memberi kebebasan pada pengelola PT, terutama PT swasta (PTS). Tidak ada ruang untuk melakukan kreativitas.

Padahal, pemerintah sudah banyak dibantu oleh swasta, karena APK (angka partisipasi kasar) dibantu dinaikan oleh PTS 2/3 dari total jumlah mahasiswa Indonesia yang berjumlah 8,184 juta (sumber: Dikti 2019).

Jumlah PTS kita 95 persen dari total PT yang ada. Tetapi perhatian pemerintah sampai saat ini hampir dikatakan tidak ada. Hal ini terlihat dari keberpihakan APBN, hanya 10 persen anggaran yang mengalir pada PTS, untuk dibagi 4.520 PTS (total PT Indonesia: 4.670, sumber: Dikti 2019).

Jangankan membicarakan anggaran untuk PTS, untuk mendengar keluhan pun enggan. Hampir sebagian besar pejabat kementerian (semua kementerian) enggan mendengar keluhan PTS. Padahal, perguruan tinggi dan pendidikan dasar dan menengah sebagian besar adalah dari pihak swasta.

Kepemimpinan semu melanda pejabat kita dan melanda semua strata kehidupan. Mau mengatur tapi tidak mau membiayai. Mau mengatur komunitas PTS, tapi tidak paham mimpi dan harapan PTS. Itulah realitas Kemendikbud kita. Jadi, kampus merdeka itu untuk dan milik siapa?

Merdeka Belajar ala Nadiem
Apa yang dimaksud dengan kebijakan ”Merdeka Belajar”: Kampus Merdeka?

Menurut Kemendikbud, yaitu merdeka belajar di perguruan tinggi yang lebih otonom. Prinsipnya, perubahan paradigma pendidikan agar menjadi lebih otonom dengan kultur pembelajaran yang inovatif.

Namun menurut hemat saya, ini adalah usulan dan cita-cita PTS dari dahulu kala dan oleh setiap menteri, sudah kita usulkan agar PTS tidak ingin diatur secara detail oleh pemerintah, sehingga kami tidak bisa berinovasi.

Dengan statement Nadiem Makarim tanggal 24 Januari 2020, maka harapan PTS segera terpenuhi. Namun yang sangat dihawatirkan ini hanya lips service, nanti di tataran teknisnya turun peraturan menteri yang tetap juga membelenggu. Bahkan PTS tidak bisa melaksanakannya. Maka sebelum ini ditetapkan perlu dibuat uji publik agar harapan dan kenyataan bisa sama.

Konon, nanti, seperti apa pelaksanaan kebijakan ”Merdeka Belajar di Perguruan Tinggi” ini?

Nadiem mengharapkan Kampus Merdeka mendorong proses pembelajaran di PT yang semakin otonom dan fleksibel. Ini kebijakan yang baik. Maka hemat kami, Dirjen Dikti khususnya Direktur Akademik, BAN PT, dan semua pihak memberi kebebasan setiap PT meramu kurikulum sesuai visi dan misi PT dan tidak terbelenggu dengan kurikulum baku dari program studi sejenis. Mungkin disepakati kesamaannya hanya 30-40 persen konten matakuliahnya yang harus sama di semua program studi yang sama.

Jika memang bertujuan demi terciptanya kultur belajar yang inovatif, tidak mengekang, dan sesuai dengan kebutuhan masing-masing PT, maka kita harus tahu peta jalan (road map) PT di Indonesia.

Diperkirakan PT di Indonesia yang memiliki mahasiswa di atas 10.000 orang, tidak lebih dari 300 PT atau di bawah 5 persen dari total PTS yang jumlahnya lebih dari 4.520. Sisanya, 70 persen lebih mahasiswanya di bawah 1.000. PTS yang memiliki mahasiswa di antara 1.000-5.000 sekitar 10 persen dan 5.000-10.000 juga di sekitar 15 persen.

Maka semestinya Kemendikbud memberi perhatian kepada kelompok PTS yang mahasiswanya di bawah 1.000, yang diarahkan untuk terciptanya kultur belajar yang inovatif, tidak mengekang, dan sesuai dengan kebutuhan PTS terbanyak di negeri ini. Bukan memotret 10 PT Negeri (PTN) terbaik Indonesia saja, misalnya, pasti tidak bisa menyelesaikan permasalahan sesungguhnya PT kita.

Kemendikbud menyatakan bahwa ada empat bagian dari terobosan kebijakan Merdeka Belajar untuk PT, dan bagian dari rangkaian terobosan kebijakan Kemendikbud di bawah tema payung ”Merdeka Belajar”.

Namun menurut kacamata Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) ini bukan terobosan utama. Dikatakan ”terobosan utama” jika Kemendikbud berani menaikkan target APK kita hingga 60 persen dan memasukan 5 PTN menjadi 100 PT terbaik dunia selama periode Nadiem sampai tahun 2024.

Karena kalau otak-atik di kemerdekaan belajar semacam ini hal yang biasa-biasa saja. Karena kehebatan dan kemajuan PT kembali pada PT masing-masing. Tetapi, jika menaikan APK butuh kerja tim antar kementerian, butuh pemikiran, dan strategi yang jitu. Karena bicara kenaikan APK butuh kestabilan hukum, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan Indonesia, yang sekarang sering dipertanyakan di ruang publik.

Sedangkan untuk menjadikan 5 PTN kita masuk 100 PT terbaik dunia, di mana ini adalah capaian yang luar biasa, maka konsen PTN ke depan bukan cari mahasiswa lokal. Tetapi, mampu merekrut mahasiswa asing, dan riset kelas dunia. Melahirkan produk inovasi dari PTN atau lahir hadiah Nobel dari PTN, karena memang anggarannnya sudah di-back up oleh APBN sebanyak 20 persen, walaupun diperkirakan tidak mencapai angka 15 persen.

Pembukaan Program Studi Baru (1)
Merdeka Belajar 1: Alhamdulillah, Kemendikbud telah merespons dengan baik ke inginan APTISI untuk mempermudah perizinan untuk pembukaan prodi pada PTS secara otonomi, dengan tidak menggunakan birokrasi yang berbelit-belit dan panjang.

Menurut Kemendikbud, dasar kemudahan pendirian program studi (prodi) bagi PTN dan PTS dengan akreditasi A dan B. Untuk mengikuti arus perubahan dan kebutuhan akan link and match dengan industri, perguruan tinggi harus adaptif. Membuka prodi sesuai dengan perkembangan kemajuan yang terjadi dan kebutuhan lapangan pekerjaan adalah salah satu caranya.

Pemerintah mendorong kemudahan tersebut, dan sampai di sini sudah sangat baik. Dasar pijakannya adalah, Permendikbud No. 7 tahun 2020 tentang Pendirian, Perubahan, Pembubaran PTN, dan Pendirian, Perubahan, Pencabutan Izin PTS

Patut disayangkan, niat baik sulit dicapai oleh PT papan tengah, apalagi papan bawah, jika pemerintah dalam hal ini Kemendikbud tidak bersinergi dengan kementerian terkait, misal Menteri BUMN, Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian dll.

Karena, sudah ada program Deductible Tax saja, bagi perusahaan yang menerima magang, belum banyak industri yang melaksanakan. Tentu dalam hal ini presiden harus ikut turun tanggan, sehingga ada keputusan bersama antar menteri.

Perlu juga ditanyakan sejauh mana kesiapan industri untuk bisa melakukan kolaborasi link and match dengan PT. Tanpa adanya paksaan melalui kebijakan pemerintah, mereka tidak akan pernah melibatkan PT.

Satu hal yang perlu diperhatikan juga kondisi wilayah geografis serta kondisi riil PTS kita yang sangat lemah sarana dan prasarana, juga lemah sumber daya manusianya. Terutama PTS yang ada di daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar), dan Indonesia Timur. Mereka tidak sama dengan PTS besar dan PTN yang ada di Jawa.

Sebagian besar mahasiswa PTS adalah masyarakat yang tidak berlebih, kalau tidak mau disebut kurang mampu. Karena magang membutuhkan biaya juga, setidaknya tranportasi dan akomodasi. Dan, alhamdulillah, kemendikbud telah membuat alternatif magang juga dapat dilakukan pada perusahaan kecil menengah, atau berwirausaha atau membantu pengembangan proyek sosial di desa atau kampung halamannya, proyek kemanusiaan, melakukan independen studi, artinya permutasinya hampir unlimited.

Yang penting jangan pernah menganggap magang itu harus pada perusahaan besar, tetapi magang pada perusahaan kecil malah bisa jadi mahasiswa cepat penjadi pengusaha, dan pengusahanya merasa terbantu. Karena dia belajar lebih mudah praktis dan tidak kompleks seperti perusahaan besar. Kalau magang di perusahaan besar paling selesai magang akan direkrut jadi karyawan saja.

Bentuk Kolaborasi
Bagaimana bentuk kolaborasi program studi dengan mitra prodi? Kemudahan diberikan kepada institusi dengan akreditasi A dan B karena sudah membuktikan kualitas dan reputasinya dalam mengelola institusi. Namun, pembukaan prodi tersebut harus disertai syarat kerja sama dengan mitra prodi.

Di luar itu, pemerintah mempermudah persyaratan pembukaan prodi. Kebijakan ini sudah sangat baik, namun nanti bisa jadi dalam pelaksanaanya sulit diterapkan, karena persyaratan kerjasama ini ukuran dan standarnya harus jelas, dan juga buat kebijakan pada industri dan organisasi yang bekerjasama dengan PT memang juga mendapat keuntungan dari pemerintah, jangan buat mekanisme pasar yang liar, dan nanti pemerintah lepas tangan.

Bagaimana bentuk kolaborasi prodi dengan mitra prodi? Menurut Kemendikbud, untuk membuka prodi baru, pihak kampus perlu mencari mitra yang dapat berkolaborasi dalam pembuatan kurikulum, menyediakan praktik kerja (magang), dan penyerapan lapangan kerja dalam bentuk penempatan kerja setelah lulus (untuk sebagian lulusan dari prodi tersebut).

Nah, kolaborasi semacam ini yang pasti tidak disukai oleh industri, karena ada kewajiban menyerap tenaga kerja dari lulusan PT tersebut. Ya kalau sekadar membantu pembuatan kurikulum dan memberikan masukan is okay, atau memberi kesempatan magang mungkin industri tidak masalah.

Tidak semua industri mau dan mampu menyerap tenaga kerja lulusan dari prodi baru yang bekerjasama dengannya, jika pun bisa hanya sebagian kecil dari lulusan. Terus, berapa ukurannya yang bisa diserap? Ini masalah yang bukan sederhana. Dan lulusan PT ini tidak semua harus diarahkan ke dalam satu industri yang kerjasama sajakan? Lulusannya bisa diserap industri lain dan bisa menjadi wirausaha, konsultan, dll.

Mitra prodi dapat berasal dari dunia usaha dan industri, BUMN dan BUMD, sektor nirlaba (non-profit), organisasi multilateral, dan mitra lain yang relevan dan bereputasi.

Ada masalah pada kata ”bereputasi”, yang kelak akan juga mengganjal perizinan. Karena perusahaan yang bereputasi belum tentu menguntungkan mahasiswa atau PT, tapi perusahaan kecil menengah mungkin lebih baik dan juga menguntungkan dalam hal ini. Karena program 3+1 (tiga tahun di kampus dan 1 tahun di industri) sudah dilakukan di beberapa PT tinggi di Indonesia dan juga PTS yang kami bina. Dan kenyataannya, tidak semua industri mau menerima mahasiswa magang.

Dunia industri dan dunia usaha; organisasi nirlaba; BUMN/BUMD; dapat dipastikan perusahaan mitra tidak mungkin menerima begitu saja. Karena mahasiswa Indonesia 8,184 juta, kalau diperkirakan 2 juta per tahun yang mau magang, terus ditempatkan di mana? Mestinya semua menteri terkait misalnya menteri BUMN, menteri perindustrian dll, membuat MoU untuk melaksanakan program ini. Dan, semua perusahaan yang menerima magang mahasiswa mendapatkan insentif pajak misalnya, atau sebaiknya diwajibkan menerima mahasiswa magang (syarat saat membuka perizinan).

Apakah Kemendikbud pernah berpikir berapa banyak perusahaan tersebut di atas yang memiliki kapasitas terpasang untuk menerima mahasiswa magangnya? Apakah mereka juga bersedia kedatangan mahasiswa magang? Dapat dipastikan tidak semua perusahaan menerima mahasiswa magang, kecuali di negara yang tingkat pertumbuhan penduduknya rendah seperti Jepang, yang justru kekurangan tenaga kerja.

Alih-alih ingin membantu menyelesaikan masalah bagi PTS yang mau membuka prodi baru, malah akhirnya dengan persyaratan MoU, tidak bisa dilaksanakan. Karena perusahaan atau industrinya tidak ada yang mau membuat MoU.

Asli, yang paling menjadi masalah adalah pertumbuhan ekonomi kita yang hanya 5 persen; dari tahun 2014 penerimaan mahasiswa di PTS terus menurun selama 5 tahun lebih, karena daya beli masyarakat yang rendah. Kuliah menjadi kebutuhan sekunder bagi semua kalangan, karena kebutuhan akan sandang dan pangan yang tinggi dan tidak mampu terbeli, jadi banyak yang menunda untuk kuliah.

Pelajaran yang berarti dengan magang dan kerja praktik di rumah sakit milik Pemda untuk mahasiswa bidang kesehatan dengan pembayaran yang sangat tinggi dan ada banyak Pemda juga melegalkan dengan pungutan 5-10 juta/mahasiswa sampai selesai, harga ini sangat variatif.

Ketentuan Lain tentang Pembukaan Prodi
Kemendikbud memberi batasan kebebasan untuk membuka prodi baru berlaku untuk semua bidang ilmu atau disiplin, kecuali bagi rumpun ilmu kesehatan dan pendidikan, karena dianggap sudah jenuh. Tetapi sebenarnya masih banyak prodi di bidang kesehatan yang sangat dibutuhkan dan banyak prodi belum ada di Indonesia.

Saya, selaku Ketua Umum Himpunan PT Kesehatan Indonesia (HPTKes Indonesia) tentu keberatan dengan moratorium ini dan sejujurnya banyak prodi kependidikan teknik juga sangat langka. Jika prodi kedokteran dibuka lebih banyak lagi, maka biaya semakin murah, dan bisa jadi Indonesia menjadi negara yang paling baik kesehatannya karena banyak tenaga dokternya.

Patut diduga ada kelompok tertentu yang enggan prodi kesehatan khususnya kedokteran tidak dibuka di berbagai tempat, agar menjadi monopoli PT tertentu, sehingga berbiaya tinggi. Tetapi di masa lalu, kalau PT tersebut di-backup oleh orang kuat langsung ke luar prodi kedokteran baru, walaupun moratorium.

Ini negara dengan aturan mengelikan, moratorium berlaku bagi PTS yang tidak punya taring, dan semua PTS tahu Dikti ini bermasalah dengan komitmen, dalam hal ini.

Good news dari Kemendikbud, politeknik dapat membuka prodi baru dan pembukaan prodi tersebut mengikuti syarat yang sama berupa kerja sama dengan mitra prodi, juga pembukaan S2 dan S3. Dan perubahan peraturan ini berlaku untuk PT lain di luar wewenang Kemendikbud.

Inisiatif perubahan kebijakan ini berlaku untuk semua institusi PT. Namun implementasi utamanya dimulai untuk PT di bawah naungan Kemendikbud dan mungkin akan ada penyesuaian bagi PT di luar naungan Kemendikbud sembari berjalan.

Rencana pemerintah untuk mengawasi prodi baru, Kementerian akan bekerja sama dengan PT dan mitra prodi untuk melakukan pengawasan prodi baru tersebut. Tetapi ketentuannya tidak jelas dan tidak akan efektif kalau tujuannya pengawasan. Kalau tujuannya pendampingan maka akan efektif, karena dengan pendampingan akan ada usaha dari pemerintah untuk mengeluarkan anggaran, sesuai nomenklatur pemerintah.

Pendampingannya dilakukan oleh L2dikti (lembaga layanan pendidikan tinggi) dengan dana yang sudah disiapkan oleh kemendikbud. Sehingga L2dikti fokus pada penjaminan kualitas dalam pemberian layanan.

Sistem Akreditasi Perguruan Tinggi (2)
Merdeka Belajar 2: Selama ada sistem akreditasi di Indonesia, pertengahan tahun sembilan puluhan, belum ada penelitian yang serius meneliti dampak postif dan negatifnya. Namun dampak positifnya terasa yaitu PT semakin serius meningkatkan kualitas di berbagai lini terutama pada peningkatan kualitas tridharma PT.

Namun dampak negatifnya belum ada yang meneliti, tetapi dalam lima tahun terakhir semakin banyak pimpinan PT, dosen dan tenaga akademik mengeluh dan semakin pusing menghadapi borang akreditasi, mereka disibukan hal-hal yang sifatnya administratif, sehingga tidak mampu berinovasi dalam melaksanakan pembelajaran, penelitian dan pengabdian masyarakat.

Undang-Undang No 12 tahun 2012 mengenai PT mewajibkan perpanjangan akreditasi PT dan prodi demi penjaminan mutu. Namun, dalam praktiknya, reakreditasi menjadi beban administrasi dosen dan pengelola PT. Untuk mengurangi beban tersebut, terobosan Kemendikbud adalah masa berlaku akreditasi akan otomatis diperpanjang tiap lima tahun selama tidak ada penurunan indikator mutu atau perubahan program secara signifikan.

Bagaimana cara mengukur indikator mutu perguruan tinggi dan program studi? Yaitu input dari pengaduan masyarakat dan hasil Tracer Study (yang dihubungkan dengan PDPT). Tapi Dikti dan BAN PT harus selektif dengan aduan masyarakat tersebut, jangan asal terima sebelum diteliti dengan seksama.

Nadiem memberikan statement bahwa, prodi baru akan secara otomatis memperoleh akreditasi C dari BAN-PT tanpa harus menunggu persetujuan Kementerian. Akreditasi tersebut berlaku dari awal sampai dengan prodi tersebut mengajukan perbaikan atau reakreditasi. Dasar pijakannya adalah Permendikbud No. 5 Tahun 2020 tentang Akreditasi Prodi dan PT.

Dari program kampus merdeka, prodi baru dapat langsung mengajukan perbaikan akreditasi setelah memperoleh akreditasi C (saat didirikan). Namun bila gagal mendapat kenaikan akreditasi, prodi baru tersebut harus menunggu selama 2 tahun sebelum dapat mengajukan perbaikan akreditasi kembali.

APTISI tidak setuju. Untuk kenaikan akreditasi tidak perlu dibatasi waktu, karena selama ini hampir sebagian besar prodi enggan mengajukan reakreditasi karena faktor biaya. Justru dengan waktu dua tahun sangat merugikan bagi PT yang mau menaikkan mutunya.

Bonus bagi PT Prodi yang telah mendapatkan akreditasi internasional, Kemendikbud akan langsung memberikan kategori akreditasi A. Daftar lembaga akreditasi internasional yang diakui Kemendikbud tertuang di dalam Keputusan Menteri.

Beberapa contoh akreditasi internasional yang diakui adalah: ABET, AACSB, FIBAA, ACPE, ECUK, TEQSA, dan lain-lain. Ketentuan perpanjangan akreditasi internasional teragantung dari masing-masing badan akreditasi internasional tersebut. Proses akreditasi ini hanya untuk PT di bawah kemendikbud, kementerian lain segera mengikuti.

Kebebasan Menjadi PTN-BH (3)
Merdeka Belajar 3: Bagaimana ketentuan bagi PTN BLU dan Satker untuk menjadi PTN BH (Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum)? akan dimudahkan. Pemerintah membantu dengan mempermudah syarat administrasinya tanpa terikat status akreditasi perguruan tinggi tersebut.

APTISI berpendapat silahkan semua PTN mengejar World Class University dengan terus ditambah anggarannya. Tetapi konsen pada kualitas. Caranya, mengurangi jumlah mahasiswa baru D3, D4 dan S1 dalam negeri. Kemudian, menaikkan mahasiswa S1 dari luar negeri dan menambah banyak mahasiswa baru S2 dan S3 dalam dan luar negeri.

Serahkan sepenuhnya kenaikan APK pada PTS dengan biaya murah dan PTS tidak perlu dibantu pemerintah. Maka dengan sendirinya PTS akan jauh lebih sehat dan PTN tidak menjadi pukat harimau menerima mahasiswa baru segala musim dan tidak mengenal gelombang.

Dengan demikian Kemendikbud bisa membuat kebijakan syarat minimal dan maksimal PT menampung mahasiswa. Jika PT jumlah total mahasiswanya di bawah syarat minimal, maka diwajibkan merger ke PT lain, yang memiliki visi dan misi sama.

Hak Belajar Tiga Semester di Luar Prodi (4)
Merdeka Belajar 4: Kemendikbud memberikan kemerdekaan dan otonomi pada kampus, dengan memberikan kebebasan waktu untuk mengambil sks. PT wajib memberikan hak bagi mahasiswa untuk secara sukarela (dapat diambil atau tidak): Dapat mengambil sks di luar PT sebanyak 2 semester (setara dengan 40 sks) dan ditambah lagi, dapat mengambil sks di prodi yang berbeda di PT yang sama sebanyak 1 semester (setara dengan 20 sks).

Dengan kata lain, sks yang wajib diambil di prodi asal adalah sebanyak 5 semester dari total semester yang harus dijalankan (tidak berlaku untuk prodi Kesehatan).

Berdasarkan Permenristekdikti No. 44/2015, sks merupakan takaran waktu kegiatan belajar berdasarkan proses pembelajaran maupun pengakuan atas keberhasilan usaha mahasiswa dalam mengikuti kegiatan kurikuler.

Selama ini, sks juga terbatas pada definisi pembelajaran tatap muka di dalam kelas. Padahal, proses pembelajaran mahasiswa tidak terbatas pada kegiatan di dalam kelas. Dalam skema yang baru, mahasiswa diberikan hak untuk secara sukarela (bisa diambil ataupun tidak) melakukan kegiatan di luar prodi, bahkan di luar PT yang dapat diperhitungkan dalam sks.

APTISI memandang ini terobosan yang baik. Karena, harapannya, mahasiswa dapat memiliki kebebasan menentukan rangkaian pembelajaran mereka, sehingga tercipta budaya belajar yang mandiri, lintas disiplin, dan mendapatkan pengetahuan serta pengalaman yang berharga untuk diterapkan.

Proses pelaksanaan penghitungan sks akan dibebaskan kepada setiap PT. PT wajib memberikan hak kepada mahasiswanya untuk secara sukarela mengambil sks di luar prodi dan PT.

Dasar hukum perubahan definisi sks adalah Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 3 tahun 2020 tentang Standar Nasional PT. Dasar hukum perubahan definisi sks adalah Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 3 Tahun 2020 tentang Standar Nasional PT.

Mahasiswa adalah penerima manfaat utama dari empat inisiatif perubahan ini. Mahasiswa akan memperoleh pilihan jurusan studi yang lebih mutakhir dan sesuai dengan kebutuhan pengetahuan dan keterampilan, serta kebebasan untuk memilih mata kuliah yang sesuai dengan pengembangan kapasitasnya. Selain itu, mahasiswa akan memperoleh materi dan proses pembelajaran yang lebih berkualitas dengan berkurangnya beban administrasi dosen.

PT harus terbuka untuk kolaborasi dan interaksi dengan sesama penyelenggara pendidikan maupun pihak ketiga (dunia usaha, dunia industri, organisasi nonprofit, dll) untuk memperluas konten pembelajaran. Ciptakan dan gunakan platform bersama untuk pendokumentasian proses tersebut.

SKS yang diambil mahasiswa di prodinya maksimal sebanyak lima dari total delapan semester. Sisanya, mahasiswa berhak memiliki pilihan untuk mengambil dua semester (setara 40 sks) di luar PT dan satu semester (20 sks) di luar prodi di PT yang sama. Hak ini bersifat sukarela dan tidak diwajibkan kepada mahasiswa untuk menggunakan tiga semester pilihan tersebut. Perubahan sks tidak berlaku untuk bidang ilmu S1 Kesehatan. Untuk saat ini, kebijakan tersebut baru berlaku untuk S1 dan politeknik.

Kesimpulan

Dari uraian di atas, saya bisa menarik kesimpulan secara umum bahwa, Merdeka Belajar: Kampus merdeka, Mas Menteri tentang (1) pembukaan program studi baru, (2) sistem akreditasi perguruan tinggi, (3) kebebasan menjadi PTN-BH, dan (4) hak belajar tiga semester di luar program studi, sangat membawa angin segar dalam perubahan kampus yang jauh lebih otonom, dari paradigma lama.

Saya bisa memahami banyak masyarakat PT yang meragukan kepemimpinan Mas Menteri ini, tetapi dari tulisan saya sehari setelah mas Menteri diangkat jadi Mendikbud, saya meyakini akan datang sebuah perubahan yang sangat fundamental, dari pemikiran milenial ini.

Mas Menteri, walaupun dia datang bukan kalangan akademik mampu memberikan harapan bagi PTS Indonesia, walaupun kita bisa membaca ini baru tataran gagasan, yang belum diimplementasikan.

Jadi, apakah Kampus Merdeka ala Nadiem, akan membawa kehancuran atau menguatkan kampus? Sejatinya kebijakan Kemendikbud ini sungguh menguatkan kampus kita, asal Kemendikbud dan tim, mau menyempurnakan dari berbagai masukan, kritik, dan saran.

Dan, jauh lebih penting Mas Menteri jangan malu mendengar dan belajar secara teknis kondisi pendidikan yang ada di Indonesia. Jangan mengikuti pendahulu Anda, yang enggan mendengar harapan masyarakat, rasanya hanya pendapat dia dan kelompoknya yang paling benar.

Semoga Mas Menteri ini tidak demikian, tetap rendah hati untuk menerima pendapat semua orang dengan santun, karena sejujurnya empat jurus Kampus Merdeka ala Nadiem masih banyak kekurangan yang harus diperbaiki. Dan masih banyak masalah PT khususnya PTS yang harus diselesaikan dengan bijak, agar Indonesia menjadi negara yang diperhitungkan di masa mendatang. Semoga.***

Biodata

Prof. M. Budi Djatmiko adalah Ketua Umum APTISI Pusat; Presiden GERAAAK Indonesia; Ketua Dewan Pembina APPERTI; Ketua Dewan Pembina PT Teknik & Sains Indonesia; Ketua Umum HPTKes Indonesia; Ketua Dewan Pembina PT Kependidikan; Dewan Penasehat APTIKOM; dan Ketua Dewan Pembina APPSIHI