Mahasiswa Tetap Tidak Merdeka, Pak Menteri

Share

Oleh Rio Tirtayasa

MASALAH kampus merdeka terus saja diperbincangkan setelah program Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tersebut tersiar ke publik. Nadiem Makarim, menterinya. Seorang pengusaha, sekaligus seorang yang dianggap salah satu pejabat milenial di negeri bekas jajahan Belanda ini. Tak ada yang menarik dari orang ini, selain diskon harga dari ojek online atau layanan pesan makanan berbasis online. Setidaknya ia memberikan kemudahan bagi penggunanya, sekaligus memberikan kesulitan bagi supir angkutan umum.

Daffa Amaanullah, sahabat saya, sekitar seminggu yang lalu memberikan pemikirannya di literat.my.id tentang program kampus merdeka ini. Sekitar tiga tahun lalu, ia hanyalah anak sekolah yang gemar membicarakan tawuran antarpelajar di ibukota sana. Jikalau ia tidak berkuliah di UPI, bisa jadi ia saat ini sedang mengkoordinir masyarakat sekitar rumahnya untuk tawuran antarwarga.

Pak menteri yang saya bangga, begitulah proses memanusiakan manusia pada hakekat pendidikan. Pola pikir seseorang akan berubah semenjak ia diberikan pendidikan yang layak dikonsumsi. Seperti sahabat saya tersebut, siapa sangka ia berubah hampir 360 derajat.

Kampus Merdeka? Bukannya Menjerat?

Ada empat poin dalam program kampus mereka ini, keempat poin itu dianggap akan memajukan pendidikan di Indonesia. Ya, begitulah, katanya. Namun, pernahkah terbayangkan jikalau keempat poin ini malah nantinya akan menjerat mahasiswa di dalam kampus, bukan merdeka. Namun begitu, kemungkinan besar program ini tetap akan dijalankan sebagai mestinya nanti. Saya yakin dengan hal itu.

Poin pertama membahas tentang PTN maupun PTS akan diberikan kemudahan izin untuk membuka program studi baru. Dalam hal ini, saya yakin pak menteri belum survei lapangan terkait program studi baru. Jikalau saya punya uang yang banyak, mungkin saya sudah membelikan tiket pesawat dan hotel bintang sepuluh untuk pak menteri. Saya ingin, pak menteri melihat bagaimana dampak pembukaan program studi baru di kampus UPI ini.

Begini pak menteri, dengan segala hormat, saya katakan bahwa UPI belum siap untuk membuka program studi baru. Iya, fasilitas saja masih kurang untuk program studi lama, apalagi baru. Pada akhirnya, banyak mahasiswa yang kuliah di fakultas lain. Sebagai contoh pula, pembukaan program studi Pendidikan Bahasa Korea membuat program studi Bahasa dan Sastra Indonesia kehilangan kelas yang setelahnya dipakai untuk prodi mereka. Akhirnya, prodi Bahasa dan Sastra Indonesia pun ikut menumpang ke kelas prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia jika ada jadwal yang bentrok.

Bukan hanya itu pak menteri, tenaga pengajar pun masih kekurangan. Di dalam Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan UPI saja dijelaskan bahwa maksimal dosen beban kerja 12-16 SKS, namun itu hanya pedoman saja, nyatanya di jurusan saya pun masih ada dosen yang mengajar hingga 24 SKS.

Poin kedua adalah perihal sistem akreditasi perguruan tinggi. Bagi saya ini lucu ketika kampus bermain dalam akreditasi. Misalnya tahun lalu, ketika kampus UPI terjatuh di peringkat perguruan tinggi di Indonesia. Anda tahu siapa yang disalahkan oleh pejabat kampus, pak menteri? Saya katakan dengan tegas, mahasiswa!. Ya, kami disalahkan karena mahasiswa kampus kami hanya sedikit yang mengirimkan Program Kreativitas Mahasiswa (PKM).

Sial bukan pak menteri, kami terjerat oleh kesalahan-kesalahan yang dilemparkan oleh pejabat kampus. Apalagi dengan adanya tugas akhir mata kuliah berupa PKM juga, ah sial pokoknya.

Satu lagi hal yang saya yakini nantinya ketika pak menteri nantinya bermain dengan akreditasi. Entah PTN atau PTS nantinya akan bermain juga dengan harga untuk perkuliahan yang harus dibayarkan. UKT sudah mahal, ditambah dengan permainan akreditasi nanti. Ah sungguh kasihan adik-adik saya nanti yang ingin berkuliah, namun tidak merdeka oleh biaya pendidikan.

Poin ketiga, kemudahan kampus negeri menjadi badan hukum. Saya tidak mengerti dengan pemikiran Anda perihal poin ini. Sebenarnya, pak menteri ingin menghilangkan tanggung jawab atas pendidikan bukan. Sudahkah pak menteri membaca buku Melawan Liberalisasi Pendidikan karya Darmaningtyas. Kalau sudah atau pun belum, saya akan jelaskan secara singkat. Menurut buku itu, pemerintah (termasuk Anda) secara tidak langsung akan melepaskan tanggung jawab negara ini dalam menjamin pendidikan bagi semua warga negara. Ya, kampus yang sudah berbadan hukum subsidinya akan dicabut oleh negara yang sangat kaya akan alam ini, namun sangat miskin perihal moril.

Nah poin keempat ini yang sangat saya sorot, mengganti sistem SKS menjadi program kerja luar kampus. Ah sial. Mengapa saya lelah berkuliah, pada akhirnya diciptakan untuk menjadi seekor kerbau yang nantinya siap membajak sawah. Tapi, di luar pemikiran saya. Banyak mahasiswa yang sangat antusias dengan pemikiran pak menteri yang satu ini. Iya, karena banyak mahasiswa yang sudah bosan dan jenuh belajar di dalam kelas, apalagi presentasi kelompok setiap minggu.

Pak menteri, perihal filosofi pendidikan yang katanya memanusiakan manusia itu, saya tidak melihat di dalam pemikiran Anda. Saya rasa, pak menteri sadar kalau saat ini banyak perusahaan yang sangat menginginkan program magang/internship. Bukan karena perusahaan-perusahaan itu bersedia menjadi lahan bagi mahasiswa yang belajar. Perusahaan hanya mengandalkan tenaga yang disediakan kampus untuk kepentingan mereka. Teman saya yang sudah lulus pernah mengatakan kepada saya bahwa jangan ambil perusahaan yang mengontrak kerja hanya sebagai internship karena akan dibayar murah dan jangka waktu kerja tidak ada kepastian.

Pernah membayangkan bagaimana nantinya jika mahasiswa berkuliah sebanyak 40 SKS di sebuah perusahaan. Sial, mahasiswa tidak dibayar, kerja kerasnya dalam mencari pengalaman nantinya hanya akan diandalkan oleh perusahaan. Progresif sekali ya pak menteri pemikiran Anda.

Mahasiswa Tetap Tidak Merdeka

Ah sial, filosofi telah berubah. Mengapa saya harus hidup di dalam filosofi yang telah berubah ini. Pendidikan bukan hanya sekadar manusia memahami yang ia tidak tahu di dunia ini. Tapi jauh lebih kasar daripada itu, pendidikan adalah gerbang dari sebuah pekerjaan. Jika seseorang tidak berpendidikan tinggi jangan harap orang itu bisa bekerja dengan nikmat di negeri ini. Lebih lucunya, banyak pejabat di negeri ini yang berpendidikan tinggi, tapi sikapnya tidak seperti orang berpendidikan.

Sahabat saya, Daffa, pernah mengungkap sedikit kehidupannya. Ia pernah mengatakan bahwa ia tidak menyesal kuliah di jurusan yang sedang ia tekuni. Menurutnya, walaupun ke depan ia akan sulit mencari pekerjaan di jurusannya. Namun, pemikiran ia berubah tentang kuliah dan pendidikan di negeri dengan jumlah penduduk keempat terbesar dunia ini. Begitulah seharusnya pendidikan, membuka pemikiran mahasiswa tentang kehidupan ini, bukan membuka program studi baru, pak menteri. Namun masih banyak permasalahan yang belum diatasi pihak kampus.

Pak menteri, jangan berharap dengan gagasan Anda perihal program kampus merdeka akan memerdekakan mahasiswa. Sebab mahasiswa tetap tidak akan merdeka, mahasiswa akan terus-menerus terjerat oleh kebijakan kampus atau program yang Anda buat sendiri. Pada akhirnya, filosofi telah berubah, mempekerjakan manusia adalah yang paling tepat daripada memanusiakan manusia.***

Tulisan ini sebelumnya ditayangkan di laman Isolapos.com

Penulis adalah mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia 2015 FPBS UPI