Dirjen GTK Kemendikbud: Sertifikasi Guru Tak Berdampak pada Hasil Belajar Siswa

Share

DIDIKPOS.COM – Dirjen GTK Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Iwan Syahril mengungkapkan, sertifikasi dalam jabatan yang sudah berlangsung selama beberapa tahun terakhir sukses mengantarkan sekitar 1,8 juta guru mendapatkan sertifikat pendidik. Program ini menghabiskan tidak kurang dari Rp 5,5 triliun dan Rp 523 triliun lainnya sebagai tunjangna profesi guru atau tunjangan sertifikasi sejak 2006 hingga 2019. Dalam lima tahun terakhir, tunjangan profesi guru mencapai 12-18 persen dari total anggaran pendidikan nasional.

Pertanyaan yang kemudian muncul, apakah program tersebut sudah menghasilkan dampak atau outcomes yang diinginkan? Mengutip laporan studi randomized experiment berskala besar yang dilakukan The World Bank, Iwan menyebut program sertifikasi guru Indonesia tidak berdampak pada hasil belajar siswa. Padahal, sambung Iwan, siswa merupakan puncak dari hasil kegiatan pendidikan.

“Meminjam analogi Pak Presiden Jokowi, menjalankan program pemerintah itu seperti menggunakan aplikasi WhatsApp. Sebuah pesan akan terkirim, lalu kemudian sampai atau delivered. Program harus lebih banyak delivered, dari sekadar sent. Lebih banyak diterima oleh mereka yang kita targetkan. Nah, banyaknya program-program kita statusnya sent. Program terlaksana, anggaran terserap, tapi delivered-nya lemah. Dibanding ekspektasi terhadap kualitas yang kita dapatkan masih lemah,” tegas Iwan, saat menjadi pembicara webinar bertajuk “Reformasi LPTK untuk Pendidikan Bermutu” yang diprakarsai IKA UPI dalam rangka peringatan Hari Pendidikan Nasional 2020, Selasa (12/5/2020).

Tak hanya itu, mengutip Studi Video TIMSS pada 2015 lalu, Iwan menilai tidak adanya perbedaan praktik mengajar dan hasil belajar siswa antara guru-guru bersertifikasi dengan guru-guru tidak bersertifikasi. Malah guru-guru bersertifikasi cenderung menggunakan pendekatan yang berpusat pada guru.

Rendahnya outcomes juga tampak jelas dari skor assesmen internasional seperti Programme for International Student Assessment (PISA). Hasil assesmen menunjukkan tidak adanya peningkatan secara konsisten dan signifikan pada performa siswa Indonesia. Bahkan, performa siswa Indonesia pada PISA 2018 menurun dibanding 2015.

“Mas Menteri menerjemahkan delivered dalam konteks pendidikan adalah kualitas hasil belajar siswa. Artinya, yang kita inginkan adalah keualitas belajar siswa menjadi lebih baik. Itu yang menjadi acuan program yang kita lakukan. Setiap program yang kita lakukan harus bisa menjawab kualitas belajar siswa. Tidak hanya program terlaksana dan anggaan terserap. Karena itu, dalam kerangka utama transformasi guru yang sudah dipresentasikan kepada Presiden, murid diletakkan paling atas,” terang Iwan.

“Ini kami dilakukan Kemendikbud, melakukan inovasi seperti ditekankan oleh Pak Enggar tadi. Kita harus melakukan ekperimentasi dengan ide-ide baru dan keberanian meninggalkan pola-pola lama, cara-cara lama, yang kita sudah tahu bahwa hasilnya tidak mencapai pada delivered kualitas yang kita inginkan,” tambah Iwan.

Lebih jauh mantan Dekan Fakultas Pendidikan Sampoerna University ini menjelaskan, kebijakan Merdeka Belajar dalam konteks guru dan tenaga kependidikan menempatkan murid sebagai tujuan utama. Lalu, sekolah berperan sebagai unit inovasi utama. Untuk melakukan itu, perlu program-program yang penciptanya adalah sekolah-sekolah penggerak.

Sekolah penggerak ini ditopang lima pilar utama. Pertama, transformasi kepemimpinan pendidikan. Kedua, transformasi pendidikan profesi guru (PPG) prajabatan. Ketiga, pengembangan ekosistem belajar guru di setiap provinsi. Keempat, komunitas pendidikan yang bergotong-royong untuk tujuan yang sama. Kelima, regulasi, tata kelola, dan koordinasi dengan pemerintah daerah.

“Dalam budaya kita, mau tidak mau, pemimpin itu adalah kunci. Pemimpinnya sudah oke, ekosistemnya bisa lebih cepat. Bergerak lebih cepat lagi. Sedangkan selama ini hal ini mungkin belum menjadi perhatian Kemendikbud sebelumnya. Dengan kata lain, ini adalah bentuk inovasi yang kita kembangkan. Pemimpinnya bisa mengembangkan pembelajaran yang beriorientasi pada murid dan mengembangkan guru. Dengan kata lain, menjadi mentor. Saat terjadinya pembelajaran itu sebearnya di sekolah. Tidak perlu menunggu pelatihan lagi. Murid tidak bisa menungu. Kalau ini bisa dilakukan di sekolah, kita meyakini bisa membawa dampak secara sistemik, massif, dan sustainable,” papar Iwan.

Dalam konteks peningkatan kualitas guru, Iwan menjadikan transformasi PPG sebagai agenda utamanya. Dia menyebutnya sebagai investasi karena dianggap luar bisa penting. PPG prajabatan jauh lebih penting sekaligus lebih mudah dibandingkan PPG dalam jabatan.
“Daripada kalau guru-guru (kurang berkualitas) ini sudah masuk. Lalu dilakuan professional development. Itu lebih susah dibandingkan investasi prajabatan. Ini sebuah hal sangat penting untuk mewujudkan sekolah penggerak untuk pendidikan yang beriontasi pada murid,” imbuh Iwan.

Dalam desain transformasi PPG prajabatan, Iwan menekankan pentingnya proses seleksi calon guru. Seleksi ini meliputi ujian penguasaan konten, ujian bernalar kritis, ujian kepribadian, dan wawancara. Hal ini penting untuk melihat sejauh mana passion seorang calon guru. Seleksi masuk berkualitas tinggi ini diharapkan menghasilkan output guru generasi baru berkualitas.

“Dari beberapa lokakarya yang kami lakukan dan studi literatur, selain inovasi, seleksi masuk berkulitas tinggi menjadi kunci. Bahkan di negara-negara maju, seperti Finlandia. Finlandia melihat passion yang terpenting. Oke penguasan materi bagus, tapi value lemah itu tidak bisa. Ini merupakan kunci menjadi guru pembelajar sepanjang hayat dan sukses,” terang Iwan.

Sejalan denga itu, Iwan menegaskan pentingnya program PPG baru hasil inovasi dari proses yang sekarang berlangsung. Inovasi pendidikan profesi guru merupakan kunci peningkatan kualitas guru. Sudah saatnya PPG menemukan model-model alternatif yang bisa manjadi cara berionovasi seusai dengan ekspektasi yang kita inginkan. Tentu, model alternatif yang tidak itu-itu saja harus berkualitas, bukan alternatif yang disebutnya alternatif abal-abal.

Iwan bermimpi PPG baru mampu menghasilkan guru kelas dunia. Mimpi seperti dilakukan Muhammad Yamin ketika mendirikan Perguruan Tinggi Pendidikan Guru (PTPG) yang kini bertransformasi menjadi UPI. Untuk itu, LPTK harus melakukan inovasi dan keluar dari zona nyaman.

“Kita harus punya visi pendidikan guru kelas dunia. Artinya, kalau bisa, lebih baik lagi dari yang ada. Apakah Cambridge lah, IB lah, dan lain-lain. Goals standar kita itu yang menjadi bagian untuk mentrasformasi PPG. Mimpi lebih bagus dari Singapura, dari Finlandia. Kita sebagai bangsa banyak sekali potensi dan kita jika kita bergaul dengan dunia internasional tidak kalah dari mereka. Cuma dari sistem kita belum bisa membutikan itu. Sekaran dengan banyak sekali momentum, kita harus menata dan mulai berlari bersama-sama, bergotong royong, untk kemudian beralri ebih cepat dari negara lain. Kita mengejar ketertinggalan, dan kalau bisa lebih cepat,” tandas Iwan. (des)***