IKA UPI: Indonesia Butuh Kurikulum Era Pandemi

Share

DIDIKPOS.COM – Indonesia butuh kurikulum baru yang relevan dengan situasi kenormalan baru (new normal). Setelah pandemi berlalu, sekadar menormalkan praksis sekolah tidaklah cukup. Yang diperlukan adalah transformasi, yaitu “desain besar” untuk mengubah sistem pendidikan secara mendasar.

“Indonesia membutuhkan cara baru dalam tata kelola pendidikan selama masa pandemi dan pascapandemi. Jangan sampai pandemi menghalangi hak-hak anak untuk mendapatkan pendidikan secara memadai,” kata Ketua Umum Ikatan Alumni Universitas Pendidikan Indonesia (IKA UPI) Enggartiasto Lukita saat membuka webinar “Pendidikan Bermutu di Musim Pandemi: Tantangan dan Harapan” yang digagas IKA UPI Komisariat Provinsi Maluku, Selasa (9/6/2020).

Diungkapkannya Enggar, sapaan Enggartiasto Lukita, visi Presiden Jokowi Widodo sudah sangat jelas menyebutkan sumber daya manusia (SDM) sebagai kunci kemajuan bangsa. Untuk mendapatkan SDM unggul, maka pendidikanlah satu-satunya yang bisa menentukan. Pendidikan menjadi penentu masa depan bangsa ini.

“Mari kita jujur! Sebelum pandemi saja kita merasakan ketertinggalan dibandingkan dengan beberapa negara lain yang maju. Apalagi sekarang kita di tengah pandemi. Karena itu, maka pembelajaran jarak jauh menjadi topik utama. Kita sedang beradaptasi dengan budaya baru dalam pembelajaran,” katanya.

Penyandang gelar doktor kehormatan (honoris causa) bidang pendidikan kewirausahaan ini menilai Kurikulum 2013 yang begitu padat tidak mungkin diterapkan selama masa pandemi. Karena itu, perlu konstruksi kurikulum yang relevan dengan situasi pandemi maupun pascapandemi. Artinya, Indonesia membutuhkan kurikulum era pandemi yang adaptif dengan perubahan global tersebut.

“Ini tantangan kita semua. Dalam menerapkan pembelajaran jarak jauh ini, baku mutu, standar, tidak ada yang seragam. Ini diserahkan kepada kreativitas masing-masing guru dan sekolah. Akan terjadi kesenjangan dari satu guru dengan satu guru lain, sekolah satu dengan sekolah lain, satu kota dengan kota lain, satu provinsi dengan provinsi lain yang memang tidak dipersiapkan untuk itu. Sehingga, saya berharap dari berbagai webinar ini akan ada yang lebih. Ada sesuatu yang bisa dihasilkan untuk menata ulang pendidikan kita ke depan,” harap Enggar.

“Dan, kami di IKA UPI akan menyampaian dan menyerukan kepada Mas Menteri (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim) mengenai urgensi dari hal ini. Lebih tajam dan lebih jauh. Kita sampaikan secara tertulis dan terbuka kepada pemerintah,” tendas Menteri Perdagangan Kabinet Kerja tersebut.

Ketua IKA UPI Bidang Pembinaan Profesi Unifah Rosyidi yang berbicara setelah Enggartiasto Lukita mengungkapkan, pandemi covid-19 membawa dampak luar biasa pada dunia pendidikan. Hal ini terjadi karena pada dasarnya pendidikan tidak mengakomodasi situasi ini. Apalagi terjadi disparitas mencolok antara satu sekolah dengan sekolah lain atau satu daerah dengan daerah lain. Pada saat yang sama, hanya sedikit guru yang siap melakukan pembelajaran online secara mandiri. Kepemilikan siswa terhadap perangkat komunikasi juga terbatas. Belum lagi orang tua yang belum terbiasa dengan pembelajaran online.

“Pandemi adalah momentum. Masa pandemi ini adalah momentum untuk kita melakukan hal-hal besar dan mendasar. Untuk mencegah penularan virus, sementara ini para siswa harus mematuhi protokol kesehatan, seraya melakukan berbagai upaya praktis agar pendidikan berjalan normal. Benang merahnya bukan menaikan angka partisipasi sekolah seperti yang kini banyak dilakukan, tetapi melakukan perubahan menyeluruh dan mendasar kurikulum sekolah, baik dominasi kontennya maupun remodeling sistem pembelajarannya,” tegas Unifah.

Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) ini menegaskan, sistem pembelajaran tidak bisa kembali ke suasana seperti sebelum pandemi. Selama vaksin belum ditemukan, maka kita melakukan dengan cara baru. Jika biasanya belajar di kelas dilakukan selama 6-8 jam, sekarang tidak bisa karena siswa harus berbagi ruangan kelas. Dengan demikian, pemerintah tidak bisa lagi mengharuskan 24 jam mengajar bagi guru. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan harus melakukan penyesuaian untuk menyelaraskan dengan kenormalan baru tersebut.

“Dengan pandemi dan setelahnya nanti, kita tidak bisa melakukan tata kelola pendidikan secara business as usual. Kita harus melakukan dengan pendekatan kontekstual. Harus melakukan usaha-usaha khusus. Seperti misalnya membuat modul pembelajaran. Yang penting adalah bagaimana guru memberikan penjelasan sejelas-jelasnya sehingga anak bisa belajar bersama orang tua,” tandas Unifah.

Webinar “Pendidikan Bermutu di Musim Pandemi: Tantangan dan Harapan” diikuti 300 peserta dari berbagai daerah di Indonesia ini. Selain Enggartiasto dan Unifah Rosyidi, webinar juga menghadirkan narasumber Direktur Pendidikan dan Agama Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Amich Alhumami dan Rektor Universitas Pattimura Marthinus Johanes Saptenno. (des)***