Kritik Sistem Remunerasi, Ketua Umum PB PGRI: Jangan Samakan Guru Seperti Pegawai Administrasi

Share

DIDIKPOS.COM – Ketua Umum PB PGRI, Unifah Rosyidi, mengkritik sistem remunerasi yang menyamakan guru seperti pegawai administrasi. Padahal, guru merupakan jabatan profesional.

“Tunjangan profesi guru bagi guru bersertifikat tidak memperhitungkan kinerjanya, tetapi ditentukan oleh syarat administratif, seperti mengajar minimal 24 jam per minggu, tidak absen lebih dari tiga hari, serta dengan peraturan yang berbelit-belit,” kata Unifah, saat berbicara dalam webinar “Pendidikan Bermutu di Musim Pandemi: Tantangan dan Harapan” yang digagas IKA UPI Komisariat Provinsi Maluku, Selasa (9/6/2020).

Selanjutnya Unifah mengatakan, jangan ada kesan meminggirkan lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) di dalam agenda besar negara untuk “Peningkatan Mutu dan Keunggulan Pendidikan”. Baginya, kesan itu adalah sebuah phylosophical error.

“Visi presiden tidak demikian. Dalam ‘Peta Jalan Pendidikan Indonesia’ berbagai solusi telah diangkat, namun memerlukan pemikiran kebijakan yang mendasar. Sebaiknya bekerja sama dan bersinergi dengan para ahli pendidikan dan para ahli lain yang relevan,” ujarnya.

Menurutnya, rendahnya kemampuan literasi siswa yang diukur oleh Programme for International Student Assessment (PISA), berakar pada cara mengajar yang terlalu teoritis dengan kurikulum yang padat konten akademik. Menurut kurikulum yang berlaku, matematik, sains, dan membaca yang diajarkan di sekolah, sepenuhnya berbasis akademik seolah menyiapkan siswa semuanya menjadi ilmuwan. Padahal, yang diukur oleh PISA bukan aspek akademik, tetapi aspek literasinya. Selain itu, pendidikan di Indonesia harus berakar pada budaya bangsa.

Tekanan pada pendidikan akademik di sekolah, lanjutnya, guru tidak dituntut mengaktifkan siswa untuk berlatih dan belajar secara aplikatif yang dilakukan oleh semua guru lulusan manapun, karena requirement kurikulum sekolah. Sejak tahun 2005, guru lulusan pendidikan tinggi umum semakin besar proporsinya, namun sejak saat itu pula skor PISA anak Indonesia tidak semakin baik, bahkan cenderung semakin menurun. Jadi, masalahnya bukan terletak pada guru dan LPTK.

“Hingga kini pemerintah belum melakukan diagnosa yang cermat terhadap faktor pengelolaan guru, seperti rekrutmen yang merit, pengelolaan yang profesional, asesmen kinerja, dan pembinaan profesional berkelanjutan. Padahal, itulah penyakitnya dan LPTK tidak berperan di situ. Jadi, jangan sampai kesalahan mendiagnosa karena LPTK dalam Peta Jalan Pendidikan adalah kebijakan yang tidak luput dari pemeo Solving the Wrong Problem (type 3 error), seperti halnya dokter yang keliru mendiagnosa penyakit dan fatal akibatnya,” pungkas Unifah. (des)***