Cegah Lost Generation, IKA UPI dan KPAI Kompak Perjuangkan Internet Gratis Pendidikan

Share

DIDIKPOS.COM – Situasi pandemi corona virus disease 2019 (Covid-19) memaksa dunia pendidikan melakukan sebuah lompatan dengan menerapkan pembelajaran jarak jauh (PJJ). Sayangnya, PJJ belum bisa dinikmati semua kalangan. Salah satu pemicunya adalah kesenjangan ketersediaan akses internet. Bahkan, cenderung bias kelas. PJJ hanya bisa diikuti kelas menangah ke atas, tidak oleh kelompok menengah ke bawah.

Situasi itu yang kemudian mendorong Ketua Umum Ikatan Alumni Universitas Pendidikan Indonesia (IKA UPI) Enggartiasto Lukita mendesak pemerintah menyediakan layanan internet gratis untuk pendidikan. Hal senada diungkapkan Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti. Keduanya sepakat bersama-sama memperjuangkan akses layanan internet gratis untuk kebutuhan pendidikan, khususnya pelaksanaan PJJ selama masa pandemi.

“Saya sependapat dengan yang dikatakan Bu Retno. Kita terancam lost generation jika membiarkan praktik pembelajaran daring tanpa dukungan jaringan internet memadai. Ini menjadi perjuangan kita bersama,” ungkap Enggar, sapaan Enggartiasto Lukita, saat menutup webinar seri ketiga IKA UPI bertajuk “Guru Digital versus Pandemi: Menyoal Kompetensi Guru Era Digital” pada Sabtu (4/7/ 2020) sore,

Webinar diikuti lebih dari 1.000 peserta melalui platform Zoom dan live streaming kanal Youtube. Peserta berasal dari berbagai daerah di Tanah Air, dengan sebagian besar di antaranya adalah guru. Para guru berasal dari 561 sekolah di Indonesia, mulai TK hingga SMA sederajat. Namun demikian, webinar juga diminati kalangan dosen maupun profesi lain. Tercatat 106 dosen dari 75 perguruan tinggi Indonesia, baik universitas, institut, maupun sekolah tinggi. Webinar juga tidak melulu diikuti alumni UPI. Tercatat hanya 410 alumni UPI atau atau 45 persen. Yang menarik, webinar juga diikuti dari kalangan pesantren hingga buruh.

Selain Retno, webinar menghadirkan narasumber Ketua Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) Syaiful Huda, Direktur Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Pendidikan Dasar Rachmad Widdiharto, dan Ketua Lembaga Kajian Kebijakan Pendidikan Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Ace Suryadi. . Webinar dipandu Fitri Khoerunnisa, Ketua Program Studi Kimia UPI yang pada 2018 didapuk sebagai Academic Leader oleh Kementerian Riset, Teknlogi, dan Pendidikan Tinggi (Kemristek Dikti).

“Saya ingin kembali menegaskan bahwa Indonesia ini bukan hanya Jakarta, bukan hanya Jawa. Indonesia terbentang mulai Sabang sampai Merauke. Artinya, ketika kita berbicara pembelajaran daring atau PJJ, maka hal-hal yang harus diperhitungkan dengan matang adalah kondisi seluruh wilayah di Tanah Air. Pendidikan harus bisa diakses anak-anak kita di seluruh daerah di Indonesia. Salah satunya dengan membuka akses internet gratis untuk pendidikan,” tegas Enggar.

Menurutnya, akses internet gratis sangat mungkin dilakukan atas pertimbangan dua hal. Pertama, satelit milik Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) masih memiliki slot yang bisa digunakan untuk berbagai keperluan, termasuk keperluan layanan pendidikan. Kedua, pemerintah bisa melakukan realokasi anggaran tanpa harus mengubah struktur anggaran yang sudah ada. Sangat mungkin untuk dilakukan realokasi.

“Saya akan berkomunikasi dengan Pak Menteri Kominfo. Satelit Kominfo masih memiliki slot yang bisa digunakan. Masalahnya, Kominfo tidak bisa mengeluarkan atau membayar ini jika tidak ada permintaan atas penggunaannya. Permintaan itu datangnya dari Kemendikbud. Ini harus segera ditindaklanjuti. Saya akan dorong Pak Menteri untuk menindadaklanjuti atas permintaan dalam webinar ini. Ini perjuangan kita bersama. Realokasi anggaran ini memungkinkan sekali. Sebab kalau ini direalokasi, sebenarnya tidak mengambil dari anggaran lain,” ujar Enggar.

“Ini bisa kehilangan generasi jika kita membiarkan anak-anak kita tidak belajar akibat ketiadaan akses internet. Kasihan juga guru-guru kita karena tidak bisa berbuat banyak banyak. Bagaimana mereka mau melakukan pembelajaran sementara mereka hidup saja susah. Harus membeli pulsa. Ini banyak sekali pengorbanan mereka di daerah. Hanya karena keterpanggilan mereka mau spend untuk itu,” tambahnya.

Duduk Bareng Cari Jalan Keluar

Penegasan serupa datang dari Retno Listyarti. Hasil survei yang dilakukan KPAI terkait PJJ menunjukkan adanya banyak masalah yang muncul. Pemicunya utamanya adalah ketersediaan akses internet tersebut. Secara umum, guru yang mengajar di perkotaan cenderung lebih memiliki akses yang luas terhadap kepemilikan gawai atau laptop dan akses internet. Kondisi sebaliknya terjadi di daerah-daerah terpencil. Di Papua misalnya, ada 54 persen siswa tidak melaksanakan pembelajaran daring.

“Mereka itu tidak daring karena mereka tidak punya semuanya, lho. Gak ada listrik, gimana mau dengerin RRI, apalagi TVRI. Listriknya saja gak ada. Lalu, mereka juga gak punya handphone, gak punya semuanya. Jangankan di Papua, di Bogor ada 11 persen yang kayak Papua. Gak ada semuanya. Nah, ini bagaimana juga dengan anak-anak. Masa enam bulan ke depan gak ada pembelajaran apapun,” tegas Retno.

“Menurut saya, internet gratis harus berlaku untuk semua selama masa pandemi ini. Dalam hal ini bukan hanya tanggung jawab Kemdikbud. Tapi Kemdikbud bisa mengusulkan juga kepada Presiden. Lalu, Kominfo duduk bareng. Kalau mau sama provider, maka mereka berbagi dua lah sama pemerintah. Selama delapan jam kerjasamanya dengan pemerintah. Sehingga, kuota yang harganya berapa, bisa separuhnya pemerintah yang membayar. Itu kan bisa juga,” Retno menambahkan.

Retno mendesak semua kalangan bekerjasama mencari jalan keluar. Bagi mantan kepala sekolah di DKI Jakarta ini, PJJ tidak akan berdaya guna jika tanpa adanya dukungan insfratruktur internet memadai. Terlebih dalam enam buan ke depan ketika pemerintah memutuskan memberlakukan PJJ.

“Untuk apa daring kalau beli pulsa  saja tidak bisa. Hanya untuk memfasilitasi anak-anak kaya? Itu gak bisa juga. Jadi, ini belajar hak atas pendidikan. Hak dasar yang harus dipenuhi oleh negara. Kondisi apapun, termasuk dalam kondisi pandemi ini. Kami berharap anak-anak terlayani dalam enam bulan ke depan. Kita bisa lost generasi kalau tidak memperjuangkan ini. Guru-gurunya juga kebantu,” ujar Retno. 

Dengan gratis delapan jam itu, sambung Retno, guru akan terbantu karena tidak harus memikirkan pengeluaran untuk membeli pulsa. Hal ini penting karena dalam situasi pandemi Covid ini semua kalangan terdampak. Guru salah satunya. Terutama guru-guru honorer berpenghasilan kecil.

“Memang hasil survei KPAI menunjukkan adanya masalah pada proses pembelajaran. Meski begitu, guru tidak bisa disalahkan. Mereka bisa jadi salah, tetapi itu karena tidak ada panduan dari pemerintah maupun pemerintah daerah melalui Dinas Pendidikan setempat. Pada saat yang sama, guru menghadapi masalah yang sama dengan siswa dan masyarakat pada umumnya. Keterbatasan internet, tidak bisa beli pulsa, dan lain-lain,” papar Retno lagi.

“Guru bukan saja tidak bisa disalahkan, melainkan patut mendapatkan apresiasi. Ini kabar baik di tengah pandemi dan segala keterbatasan. Ternyata para guru memiliki antuasiasme dalam melakukan pembelajaran. Semangat para guru menjadi harapan dan berita baik. Guru dengan segala keterbatasan tetap bertanggung jawab. Bagi kami, ini sesuatu yang patut diapresiasi. Terlepas dari prosesnya keliru dan lain-lain, kami menilai bahwa ini ada sebab akibat. Bukan semata-mata kesalahan guru,” pungkas Retno. (des)***