Doktor Termuda Indonesia Dapat Penghargaan MURI

Share

DIDIKPOS.COM – Dr. H. Satria Arief Prabowo, MD.Ph.D, meraih penghargaan dari Museum Rekor Indonesia (MURI) sebagai Dokter Termuda Indonesia. Satria menyelesaikan studi Doktoral pada usia 25 tahun di London School of Hygiene and Tropical Medicine (LSHTM) mulai 2014 dan lulus pada 2018.

Penghargaan dokter termuda bidang Ilmu Kedokteran itu, disampaikan langsung oleh pendiri MURI, Jaya Suprana, di Roma, Italia, beberapa waktu lalu.

Sebelumnya, Satria memulai S 1 Pendidikan Dokter di Universitas Airlangga (Unair) pada usia 15 tahun. Saat menempuh pendidikan jenjang sarjana ini, tepatnya pada tahun 2012, Satria sempat mengikuti pelatihan penelitian di University Medical Center Groningen (UMCG), Belanda.

Saat ini, Satria telah memiliki sebelas karya publikasi di jurnal internasional terindeks Pubmed dan Scopus. Salah satu penelitiannya adalah terkait pengembangan vanksin Tuberkulosis, yang juga merupakan kelanjutan dari risetnya saat menempuh pelatihan di Groningen, Belanda.

Berprestasi sejak S 1

Saat berstatus sebagai mahasiswa S 1 Unair, Satria telah mempublikasikan dua karya di jurnal internasional bereputasi. Karenanya, Prof. Tjip van Werf, pakar Tuberkulosis dan vaksinasi di Eropa, sekaligus pembimbing Satria saat di Belanda memberikan kepercayaan pada Satria untuk terlibat dalam konsorsium riset Eropa dalam pengembangan vaksin Tuberkulosis.

“Prof. Tjip juga yang memberikan rekomendasi kepada saya untuk langsung menempuh pogram Doktoral atau S3 di London setelah meraih gelar dokter tanpa harus menempuh studi S2 terlebih dahulu,” lanjutnya.

Selama di LSHTM, Inggris, Satria dibimbing oleh Prof. Helen Fletcher yang menjabat sebagai Director of Tuberculosis Centre diLSHTM. Satria mengaku banyak belajar dari kepakaran Prof Helen dan merasa senang karena bisa belajar dari banyak pakar di LSHTM, yang merupakan kampus nomor satu di Inggris, Eropa, dan dunia untuk studi bidang kedokteran tropis.

Bersyukur

Satria bersyukur tidak mendapati kendala yang signifikan selama menempuh studi doktor. Menurutnya, melaksanakan riset di bidang kesehatan dan kedokteran memerlukan tahapan yang tidak singkat, sehingga diperlukan kesabaran. Mengingat sebelum vaksin yang dikembangkan bisa diterapkan pada manusia, diperlukan uji coba beberapa kali pada hewan coba untuk mengetahui regimen yang optimal.

“Di samping itu, mengunjungi banyak negara di dunia telah membuka mata saya akan keberagaman sistem nilai, sosial, maupun budaya yang turut berpengaruh dalam perkembangan pelayanan kesehatan dan kemajuan riset di suatu negara,” terangnya.

Sebagai seorang dokter dan peneliti di bidang kesehatan, Satria berharap 100 tahun setelah kemerdekaan, Indonesia sudah bisa duduk sejajar dengan negara-negara maju dalam bidang inovasi dan pelayanan kesehatan. Pada tahun 2050, Indonesia diprediksi akan menjadi kekuatan ekonomi terbesar ke-4 di dunia. Untuk itu, Satria berharap komitmen dari semua pihak untuk bersinergi dalam rangka mewujudkan visi besar tersebut.

“Saya bermimpi Indonesia nantinya dapat menjadi pusat riset penyakit tropis dan infeksi dunia, dan dapat mengirimkan kader terbaiknya untuk mendapatkan penghargaan hadiah Nobel yang selama ini masih didominasi oleh peneliti dari negara-negara maju,” pungkas Satria yang juga menjadi bagian dari tim pengembangan vaksin Covid-19 yang dimulai sejak April 2020. (des)***

Sumber: Unair.ac.id