Belajar Daring: FSGI Desak Nadiem Evaluasi PJJ, IGI Sebut Guru tak Punya Standar Penugasan

Share

DIDIKPOS.COM – Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menilai, Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ/dalam jaringan [daring]) menimbulkan masalah baru di lapangan. Untuk itu, FSGI mendesak Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim agar mengevaluasi PJJ secara menyeluruh.

Sementara Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia (IGI) Muhammad Ramli Rahim, menilai, selama ini tidak ada standar penugasan oleh guru selama
PJJ. Itu mengesankan guru tidak memperhitungkan secara komprehensif beban tugas yang diberikan ke siswa.

“PJJ hanya mendapat nilai 55 alias tidak tuntas dalam evaluasi setahun kinerja Mendikbud. Kelebihan PJJ mencegah sekolah menjadi kluster baru penularan Covid-19. Namun kekurangannya malah lebih banyak,” kata kata Dewan Pakar FSGI, Retno Listyarti, dalam konferensi pers evaluasi setahun Mendikbud yang diadakan FSGI, dikutip Republika.co.id, Minggu (25/10/2020).

“Salah satunya, PJJ menimbulkan korban karena tingkat stres siswa dan orang tua siswa bertambah. Banyak anak yang sulit diajari selama PJJ mendapat kekerasan dari orang tuanya. Bahkan dilaporkan ada siswi meninggal karena beratnya PJJ,” sambung Retno.

Retno meminta Mendikbud agar memetakan permasalahan PJJ dengan data terpilah. Misalnya, masalah hambatan PJJ secara daring (dalam jaringan) dan luring (luar jaringan) per sekolah, per kecamatan, per kabupaten, per provinsi, dan secara nasional.

“Data ini diperlukan untuk melihat permasalahan secara spesifik sehingga intervensi pemerintah menjadi tepat sasaran dan tepat manfaat,” ujar Retno.

Ia menyayangkan banyak masalah PJJ yang tidak terselesaikan, mulai dari PJJ fase pertama sampai fase kedua saat ini. Padahal masalahnya masih sama, di antaranya peserta didik dan pendidik tidak memiliki alat PJJ secara daring, sulitnya sinyal di daerah tertentu, dan mahalnya kuota internet.

“Langkah penanganan PJJ yang telah dilakukan justru tidak didasarkan pada akar masalahnya, sehingga cenderung salah obat karena diagnosanya keliru,” ujar Retno.

Standar Penugasan

Sebelumnya, Ketua Umum IGI Muhammad Ramli Rahim mengatakan perlu adanya standar penugasan oleh guru selama PJJ.

“Selama ini standar penugasan oleh guru juga tidak diatur, baik oleh Kemendikbud, dinas pendidikan provinsi maupun dinas pendidikan kabupaten/kota. Padahal standar penugasan itu penting dilakukan agar tidak memberikan tugas pada setiap mata pelajaran,” ujar Ramli, di Jakarta, dikutip Antara, Senin (19/10/2020).

Dia menambahkan jika setiap guru memberikan satu saja tugas setiap minggu, maka setiap siswa akan mendapatkan 14 hingga 16 tugas yang harus dituntaskan, sebelum mata pelajaran dilanjutkan minggu depannya.

“Dengan PJJ ini, memang guru sangat mudah memberikan tugas, apalagi mereka saat ini dengan dukungan sistem manajemen pembelajaran (LMS) dan tak perlu tampil di depan kelas lagi dan cukup memberikan tugas lewat LMS yang ada, tetapi mereka tidak memperhitungkan secara komprehensif beban tugas yang diberikan ke siswa tersebut,” ujar Ramli,

Dia meminta agar Kemendikbud tidak tinggal diam atas insiden bunuh diri yang menewaskan siswi SMA di Gowa, Sulawesi Selatan, berinisial MI. Siswa berusia 16 tahun nekat bunuh diri dengan meminum racun, Sabtu (17/10/2020).

Korban bunuh diri diduga akibat depresi dengan banyaknya tugas-tugas daring dari sekolahnya. Korban kerap bercerita pada teman-temannya perihal sulitnya akses internet di kampung, sulitnya akses internet di kediamannya menyebabkan tugas-tugas daringnya menumpuk.

“Kami sejak awal sudah meminta pemerintah pusat dan menyampaikan langsung ke Mendikbud Nadiem Makarim bahwa beban mata pelajaran yang dialami oleh siswa sesungguhnya, menjadi masalah utama rendahnya kualitas pendidikan kita. Namun hingga saat ini upaya penyederhanaan kurikulum tampaknya masih mengalami jalan buntu,” katanya.

Kejadian bunuh diri oleh siswa di Kabupaten Gowa, lanjut Ramli, seharusnya menjadi peringatan pada pemerintah bahwa masalah penugasan itu adalah sesuatu yang sangat serius memberikan dampak depresi kepada siswa.

Menurutnya, seharusnya, kepala sekolah dan para guru konseling mampu mengetahui dan mengukur beban yang dialami oleh siswa akibat banyaknya penugasan penugasan yang dilakukan oleh para guru di suatu sekolah terhadap satu siswa. Itu menjadi standar bagi guru-guru di sekolah tersebut untuk memberikan penugasan kepada siswanya.

Ditambahkannya, setiap daerah, seharusnya mempertimbangkan kemampuan jaringan internet di daerahnya, ketersediaan alat, baik berupa tablet smartphone maupun laptop dan komputer di daerah tersebut yang dimiliki oleh siswanya.

“Kemudian, pertimbangkan kemampuan ekonomi siswa di daerah-daerah tersebut. Sehingga pemerintah tidak berlepas tangan cukup dengan memberikan kuota data kepada siswa, tetapi memahami secara penuh suasana dan kondisi pembelajaran pada masa pandemi Covid-19. Semua itu seharusnya diatur dan dibuat standarnya oleh Kemendikbud,” katanya. (haf)***