Kajian Doktor Neurolinguistik Pertama Unpad: Familiaritas Bahasa untuk Terapi Pasien Afasia

Share

DIDIKPOS.COM – Riki Nasrullah, mahasiswa Program Doktor Fakultas Ilmu Budaya Unpad, menawarkan adanya konsep familiaritas bahasa pada terapi penyembuhan pasien afasia (gangguan kemampuan berbahasa akibat kerusakan pada korteks).

Hal tersebut tertuang dalam disertasinya berjudul ”Ekspresi Verbal, Pola Pemulihan Kompetensi Bahasa, dan Efek Transfer Lintas Linguistik Afasia Bilingual Sunda-Indonesia: Kajian Neurolinguistik”. Riki merupakan Doktor neurolinguistik pertama di Unpad.

Pria asal Sukabumi ini meraih gelar Doktor pada 30 September 2020, di usianya yang menginjak 26 tahun. Pada sidang yang digelar secara daring tersebut, ia dinyatakan lulus dengan predikat “dengan pujian”.

Diketahui, proses penyembuhan pasien dengan penyakit afasia, atau gangguan kemampuan berbahasa akibat kerusakan pada korteks, di sejumlah rumah sakit Indonesia umumnya menggunakan bahasa Indonesia. Padahal, belum tentu pasien memiliki kedekatan secara emosional, sosial, dan struktural dengan bahasa Indonesia.

“Saya tawarkan berupa konsep familiaritas bahasa. Dengan asumsi bahwa bahasa yang memiliki kedekatan emosional, sosial, dan struktural dengan pasien akan meningkatkan potensi pasien untuk pulih,” ujar Riki, dikutip laman Unpad, Sabtu (3/10/2020).

Hal tersebut terbukti dalam penelitian Riki pada sejumlah pasien di dua rumah sakit yang berlokasi di Jakarta dan Bandung. Pasien yang memiliki kedekatan dengan bahasa Sunda, lebih cepat proses pemulihannya jika terapi menggunakan bahasa Sunda.

Riki mengungkapkan, salah satu pasien dalam penelitiannya lahir di Bandung, lama tinggal di Bandung, dan kesehariannya menggunakan bahasa Sunda. Artinya pasien memiliki lebih memiliki kedekatan emosional, struktural, dan sosial dengan bahasa Sunda ketimbang bahasa Indonesia.

Ketika pasien dicoba terapi menggunakan bahasa Indonesia, kemampuan bahasa pasien sulit muncul. Namun ketika dicoba menggunakan bahasa Sunda, terjadi peningkatan kemampuan yang sangat signifikan.

“Dari sini saya bisa menarik kesimpulan bahwa dalam proses terapi wicara ini para terapis, para dokter, dan rumah sakit perlu mempertimbangkan aspek bahasa ini. Aspek latar belakang kebahasaan, bagaimana kedekatan pasien dengan bahasanya,” ujar Riki.

Melalui penelitian tersebut Riki juga ingin memberi masukan pada aturan tata laksana peraturan Kementerian Kesehatan RI mengenai terapi pada pasien afasia. Proses pemulihan pasien diharapkan akan lebih efektif jika mempertimbangkan aspek kedekatan bahasa dengan pasien.

“Proses penyembuhan afasia ini kan agak lama. Saya menemukan ada satu titik kritis yang perlu diperhatikan, yaitu pasien ini tidak dihubungkan familiaritas bahasanya. Harapannya dengan ada ya penelitian ini, pihak-pihak terkait bisa duduk bersama membicangkan masalah ini dan hasil penelitian saya ini bisa diaplikasikan,” ujarnya.

Dikatakannya, penelitian neurolinguistik sendiri belum banyak dilakukan di Indonesia. Begitu juga Doktor di bidang ini.

“Mudah-mudahan hasil penelitan ini bisa bermanfaat bagi perkembangan lingustik dan neurolinguistik. Mudah-mudahan hasil penelitian saya juga bermanfaat dan menjadi pelengkap di dunia medis. Peran bahasa juga tidak bisa dilupakan dalam dunia medis khususnya pada pasien afasia,” harapnya.

Pada sidang yang diketuai Yuyu Yohana Risagarniwa, M.Ed., Ph.D. tersebut dihadiri juga oleh Prof. Dr. Cece Sobarna, M.Hum (Sekretaris), Prof. Dr. Dadang Suganda., M.Hum.(Ketua Tim Promotor), Dr. Wagiati, M.Hum. (Anggota Tim Promotor), Nani Darmayanti, Ph.D. (Oponen Ahli). Dr. Wahya, M.Hum. (Oponen Ahli), Dr. Vitriana Biben, dr., Sp.KFR. (K) (Oponen Ahli), dan Prof. Dr. Eva Tuckyta Sari S., M.Hum. (Representasi Guru Besar). (des)***