Satu Tahun Jokowi-Maruf, Ketua Komisi X DPR: Belum Banyak Mengubah Wajah Pendidikan

Share

DIDIKPOS.COM – Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda, mengatakan, satu tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi)-KH Ma’ruf Amin, masih belum banyak mengubah wajah pendidikan di Indonesia.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) masih berjibaku melakukan mitigasi krisis akademik maupun mitigasi krisis ekonomi bidang pendidikan akibat pandemik Covid-19.

“Kami menilai belum banyak perubahan yang dilakukan Kemendikbud di bawah komando Menteri Nadiem Makarim selama satu tahun terakhir. Mas Menteri dan jajarannya tampaknya masih berjibaku mengatasi dampak Covid-19 di bidang pendidikan yang memang memunculkan banyak persoalan,” ujarnya, dikutip Antara, Rabu (21/10/2020).

Dijelaskannya, Program Merdeka Belajar maupun Program Kampus Merdeka belum diterjemahkan secara regulatif di tataran impelementasi karena pandemi Covid-19.

Lanjut Huda, Program Merdeka Belajar yang berisikan empat program seperti penghapusan Ujian Nasional (UN), penyederhanaan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), pengantian Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN), dan Zonasi PPBD yang lebih fleksibel belum sepenuhnya terimplementasi di lapangan.

“Memang Kemendikbud mempercepat penghapusan UN yang harusnya dilakukan tahun 2021, tetapi bisa dilaksanakan tahun ini. Kendati demikian hal itu dilakukan semata karena kondisi darurat Covid-19, bukan atas sebuah rencana yang tersusun rapi,” terangnya.

Huda menuturkan, dalam konteks mitigasi dampak Covid-19 di bidang pendidikan, juga banyak ditemukan indikasi kekurangsigapan Kemendikbud dalam melakukan antisipasi. Satu hal yang paling jadi sorotan adalah lambannya Kemendikbud dalam merilis kurikulum adaptif saat Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ).

Itu berimbas pada beratnya beban siswa dan orang tua siswa saat harus belajar dari rumah. Sebagian pengajar hanya memberikan tugas dan tugas sehingga membuat siswa dan orang tua siswa tertekan.

“Bahkan beratnya PJJ ini membuat satu orang siswa di Kota Tangerang mengalami kekerasan dari orang tua hingga merenggang nyawa. Beratnya beban akademik selama PJJ ini diduga juga menjadi pemicu kasus bunuh diri seorang siswi sekolah menengah di Gowa, Sulawesi Selatan,” ujarnya.

“Harusnya sejak dari awal harus diantisipasi jika social distancing saat pandemi Covid-19 mengharuskan siswa belajar dari rumah. Oleh karena itu harus ada penyesuaian beban kurikulum, tapi ternyata kurikulum adaptif itu baru dirilis pertengahan Agustus atau hampir enam bulan setelah kasus Covid-19 merebak,” tambah Huda.

Kendati demikian, Huda memberikan apresiasi terhadap politik anggaran Kemendikbud yang merespons dampak krisis ekonomi di bidang pendidikan. Pihaknya mencatat Kemendikbud mengeluarkan kebijakan relaksasi dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) di mana kepala sekolah diberikan kelonggaran dalam penggunaan anggaran termasuk untuk mengaji guru honorer atau membeli pulsa untuk kebutuhan PJJ.

Kemendikbud juga melakukan kebijakan pemberian Dana BOS afirmasi bagi sekolah swasta.

“Jumlah alokasi dana BOS afirmasi dan kinerja sebesar Rp 3,2 triliun dengan sasaran sebanyak 56.115 sekolah di 32.321 desa/kelurahan daerah khusus,” katanya

Untuk pendidikan tinggi, Huda melihat, Kemendikbud juga memberikan relaksasi pembayaran uang kuliah tunggal (UKT) bagi mahasiswa PTN terdampak pandemik.

Yang tidak kalah penting adalah Kemendikbud juga mengalosikan anggaran hingga hampir Rp 7 triliun untuk bantuan pembelian pulsa internet bagi peserta didik dan tenaga pengajar mulai dari PAUD hingga perguruan tinggi.

“Kami menilai subsidi kuota internet ini cukup krusial dilakukan karena hampir semua aktivitas pendidikan dilakukan secara daring. Kami memberikan apresiasi atas kebijakan Kemendikbud ini,” katanya.

Ke depan, tutur Huda, Kemendikbud harus memperbaiki sektor komunikasi publik. Dalam satu tahun terakhir muncul banyak kegaduhan akibat ketidakmampuan Kemendikbud dalam mengelola komunikasi publik ini.

Kegaduhan Program Organisasi Penggerak (POP) menjadi contoh konkret betapa buruknya komunikasi publik Kemendikbud. Turunan Program Merdeka Belajar ini ternyata menimbulkan polemik berkepanjangan di mana banyak elemen masyarakat yang protes terkait ketidakjelasan mekanisme rekruitmen dan indikator entitas pendidikan yang masuk POP.

Akhirnya Program POP tersebut harus ditunda. Selain itu juga publik juga digaduhkan dengan kebijakan Kemendikbud dalam mengandeng Netflix (jargon Merdeka Belajar yang ternyata merk swasta) dan somasi pemilik film yang karyanya digunakan untuk materi belajar dari rumah.

“Menurut kami kegaduhan-kegaduhan ini muncul akibat kurang bagusnya Kemendikbud dalam mengelola komunikasi mereka. Ke depan, kami meminta agar hal tersebut bisa diperbaiki sehingga kerja besar pendidikan tidak tersandera oleh hal-hal kecil yang bisa diselesaikan dengan komunikasi yang baik,” imbuhnya. (ful)***