Opini  

Iktikaf dan Minta Maaf

Share

Oleh Èsèp Muhammad Zaini

IKTIKAF, menurut pemahaman saya, yaitu berdiam di masjid, baik sejenak atau beberapa saat (lebih lama) dengan maksud ingin lebih mendekatkan diri kepada Allah Swt. Iktikaf bisa dilakukan setiap kali kita mendirikan salat lima waktu di masjid, baik salat sendiri maupun berjamaah. Namun, kata iktikaf ini lebih populer pada saat bulan Ramadan, terutama pada sepuluh hari terakhir. Tentu saja dengan bermaksud untuk mendapatkan lailatul qadar, malam seribu bulan. Dalam KBBI, iktikaf adalah diam beberapa waktu di dalam masjid sebagai suatu ibadah dengan syarat-syarat tertentu (sambil menjauhkan pikiran dari keduniaan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan).

Umat muslim dan muslimah berbondong-bondong menginap di masjid-masjid, baik perseorangan maupun terkoordinir. Bahkan, banyak yang memboyong keluarganya. Hingga ada yang mendirikan tenda di halaman masjid. Dilihat secara lahiriah sungguh indah. Secara batiniah, tentu cuma terasa oleh para pelaku iktikaf sendiri. Mereka membaca Alquran atau menggumamkan lafaz-lafaz suci memuji Allah Swt. — tasbih, tahmid, takbir dan tahlil.

Iktikaf itu begitu sederhana. Tidak ribet dan repot. Tidak harus semalam suntuk. Tidak harus pindah tempat tidur. Tidak perlu meninggalkan rumah berlama-lama.

Demikianlah tentang iktikaf. Sejatinya, iktikaf memang dapat dilakukan di dalam rumah. Terutama bagi muslimah. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW, bahwa sebaik-baiknya tempat ibadah bagi muslimah adalah rumahnya.

Lalu, bagaimana jika muslimah tetap ingin melakukan iktikaf di luar rumah –masjid atau majelis? Tentu, yang pertama adalah meluruskan niat, kemudian tetap menjaga diri menutup aurat dengan sempurna, tidak bertabaruj, dan menghindarkan diri dari ikhtilat.

Tabaruj, yaitu sebutan yang ditujukan untuk wanita yang tidak mengenakan pakaian dengan sempurna, berkerudung memang, tetapi masih memperlihatkan tonjolan rambutnya, lekuk tubuhnya, mengukir alisnya, berdandan, ber-make up berlebihan, menggunakan perhiasan yang seharusnya tidak ditampakan, perhiasan yang boleh terlihat hanya cincin dan gelang, baik itu emas atau imitasi.

Ikhtilat, yaitu bercampur-baur antara laki-laki dan perempuan asing. Meski di area masjid hendaklah masing-masing saling menghindari, jika tidak ada keperluan yang syariat.

Begitupun iktikaf bagi seorang mukmin, hendaknya dipenuhi rukun-rukun iktikaf tersebut sebagaimana mestinya.

Bertakarub illalah, dapat kita lakukan di mana saja, hanya momentum Ramadanlah yang menggiring kaum musilimin untuk selalu dekat dengan masjid, menjadi termotivasi karena kegiatan ini dilakukan oleh banyak orang. Selama terpenuhi syarat dan rukunnya, mengapa tidak untuk melakukan iktikaf. Hanya yang perlu menjadi catatan besar adalah bersihkan diri dari dosa antarmanusia, niscaya Allah selalu ada dan dekat dengan kita.

Tiga hal permohonan malaikat Jibril untuk orang yang ditolak ibadah puasanya dan Rasulullah mengaminkan tiga kali. Ketiga hal tersebut adalah:
1) Orang yang tidak meminta maaf kepada orang tuanya;
2) Orang yang tidak meminta maaf kepada tetangga dan sahabatnya; dan
3) Istri yang tidak meminta maaf kepada suaminya atau suami yang tidak minta maaf kepada istrinya.

Jangan malu dan ragu untuk meminta maaf kepada orang lain. Dan, orang yang paling mulia adalah mau memaafkan orang lain dengan ikhlas.

Dengan iktikaf yang sederhana sesuai dengan kemampuan kita dan jauh dari ria, insya Allah akan mendapatkan malam seribu bulan. Ujian paling nyata adalah bukti kesalihan dan ketakwaan kita pada sebelas bulan berikutnya. Dan, puasa kita akan diterima dengan sempurna oleh Allah Swt. karena di antara kita saling memaafkan untuk menggapai fitrah. Itulah, kemenangan yang hakiki. Wallahu bisawab.***

Penulis adalah Ketua Yayasan Guneman Bandung, Ketua Yayasan KAGUM Bogor Raya, Ketua Yayasan Guneman Kamilah Almunawar Cianjur, dan Pembina Yayasan Mama Shoheh Bunikasih Cianjur.