Oleh Ni Putu Sri Jayanti Warma Dewi
SECARA keseluruhan, rangkaian upacara yang melibatkan nasi wong-wongan ini disebut nangluk mrana, yaitu upacara yang ditujukan untuk menangkal atau mengendalikan gangguan-gangguan, seperti penyakit pada tanaman, hewan, maupun manusia. Dalam hal ini, gangguan yang dimaksud yaitu pandemi Covid-19. Ritual nangluk mrana ini rutin dilakukan pada tilem sasih kaenem atau pada bulan baru di bulan ke-enam kalender Bali. Namun karena wabah pandemi Covid-19, masyarakat melakukan ritual ini di luar penanggalan kalender bali, hal tersebut demi menangkal virus corona ini. “Nangluk Mrana” juga diartikan sebagai upacara atau ritual untuk mencegah atau menghalangi hama atau penyakit, atau disebut juga ritual penolak bala.
Selain upacara yang dilakukan seperti paparan di atas, upacara lain yang dilakukan adalah Upacara Pemahayu Jagad di Pura Besakih Karagasem yang dikenal sebagai the mother temple (pura Khayangan Jagad Bali). Banyak masyarakat Hindu Bali memadati pura Besakih untuk memohon keselamatan dan keberkahan kepada Ida Sang Hyang Widi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa. Upacara Pemahayu Jagad adalah sebuah ritual yang bertujuan untuk memohon kehadapan Hyang Widi Wasa agar dunia dianugrahkan ketentraman, kebaikan, dan kesejahteraan. Dalam konsep Siwa Bhairawa maka ritual pemahayu jagat dilakukan dengan cara menghaturkan caru (sarana upakara, biasanya caru ini terbuat dari olahan daging ayam yang diarahkan untuk memecah belah kekuatan roh-roh jahat [bhuta] di mana dalam klasifikasi simbolik orang Bali dihubungkan dengan arah bawah [sor]). Caru ini ada dalam berbagai tingkatan baik dalam skala rumah tangga, desa, kabupaten, maupun provinsi.
Serangkaian upacara yang dilakukan oleh masyarakat Hindu di Bali adalah untuk menjaga keseimbangan dan ekosistem alam agar pandemi covid-19 ini cepat berlalu. Seperti yang diketahui dalam masyarakat Hindu di Bali dikenal dengan falsafah Tri Hita Karana di mana falsafah ini mengandung arti keharmonisan dan tentunya kutipan ini sudah terdengung sampai ke mancangara.
Tri Hita Karana memiliki elemen/subsistem Parhyangan, Pawongan, dan Palemahan. Dalam realisasinya, Parhyangan yaitu hubungan manusia dengan Tuhan dapat diartikan sama dengan pola pikir/konsep/nilai. Pawongan yang artinya hubungan manusia dengan sesamanya, sama dengan elemen sosial. Dan Palemahan yaitu hubungan manusia dengan alam sekitar sama dengan elemen artefak. Dalam implementasinya upacara atau ritual yang dilakukan menekankan kepada konsep Palemahan dimana mengadakan hubungan harmonis dengan alam sekitar dan lingkungan sekitar untuk menjaga keseimbangan di bumi ini. Tri Hita Karana berasal dari 3 kata yaitu “tri” yang artinya “tiga”, “hita” yang artinya sejahtera, dan “karana” yang artinya penyebab. Tri Hita Karana berarti tiga penyebab kesejahteraan. Tri Hita Karana mengandung pengertian tiga penyebab kebahagiaan yang bersumber pada keharmonisan hubungan antara 3 hal yaitu:
1) Parhyangan (Manusia dengan Tuhan).
2) Pawongan (Manusia dengan sesama).
3) Palemahan (Manusia dengan alam lingkungan).
Konsepsi Prahyangan dalam Tri Hita Karana dijelaskan adanya hubungan harmonis antara Tuhan dengan manusia, dalam artian bahwa setiap kegiatan yang berupa keagamaan akan dihubungkan dengan sang pencipta. Dapat dilihat dari beberapa paparan di atas mengenai beberapa ritual atau upacara yang dilaksanakan berhubungan dengan sang pencipta yang dikaitkan dengan tradisi dan adat-istiadat.
Parhyangan merupakan hubungan yang terjalin antara Manusia dengan Tuhan. Manusia adalah ciptaan Tuhan, yang di dalam tubuh seseorang terdapat atman yang merupakan percikan sinar suci kebesaran Tuhan yang menyebabkan manusia bisa hidup. Dalam ajaran Agama Hindu, dapat diwujudkan dengan Dewa Yadnya yaitu upacara persembahan suci yang tulus ikhlas kehadapan para dewa-dewa, bukan hanya persembahan kepada Dewa Yadnya tetapi terdapat juga terdapat persembahan kepada Pitra Yadnya, Manusia Yadnya, dan Bhuta Yadnya. Dan segala ritual atau upacara yang dilakukan oleh masyarakat Bali tentunya berkaitan dengan pandemi Covid-19 agar terjadin hubungan harmonis antara manusia dengan Tuhan agar terlindungi dari virus tersebut. ***
Penulis adalah guru di SMA N 1 Kuta Selatan, Bali.