Jawaban atas Artikel Anindito Suditomo, Polemik Penyederhanaan Kurikulum.
Oleh Dani Wardani
SUNGGUH menarik apa yang ditulis saudara Anindito mengenai polemik penyederhaan kurikulum. Tulisan ini dapat diakses di blog pribadinya, https://ninoaditomo.blogspot.com/2020/09/polemik-penyederhanaan-kurikulum-oleh.html?m=1 . Menarik untuk dibahas karena berkaitan dengan wacana penyederhanaan kurikulum yang sedang merebak baru-baru ini.
Beliau mempermasalahkan penyederhanaan kurikulum mendapat tantangan setelah ramainya para guru-guru, asosiasi, dosen-dosen, dan pemerhati sejarah bersuara. Apa yang disuarakan terkait dengan isi dari draf penyederhanaan kurikulum yang seharusnya rahasia dan sedang disosialisasikan ke sekolah project, telah bocor. Isi dari draf penyederhanaan kurikulum salah satunya menghilangkan dan atau mengubah status pilihan salah satu mapel yang tadinya ada di mapel wajib yaitu mapel sejarah dalam struktur kurikulum yang digadang-gandang menjadi kurikulum baru.
Saudara Anindito menulis di paragraf pertama bahwa “tantangan utama upaya penyederhanaan kurikulum: setiap mata pelajaran memiliki kelompok advokat yang akan menolak pemangkasan konten mata pelajaran tersebut.” Saudara Anin tidak tahu atau tidak paham bahwa yang dipersoalkan teman kita yang menyuarakan kritik terhadap draf penyederhanaan kurikulum persoalannya karena menghilangkan mapel bukan memangkas konten mapel.
Perlu kita bedakan antara mapel sama konten mapel. Mapel sejarah contohnya terdapat konten sejarah pra aksara, sejarah perjuangan, sejarah kemerdekaan, dll. Apabila yang disederhanakan dalam draf kurikulum tersebut masalah konten seperti menghilangkan konten sejarah pra aksara bukan menghilangkan mapel sejarah, sebenarnya tidak perlu adanya kritikan dari teman pendidik sejarah. Justru yang disosialisasikan dalam draf tersebut, mapel sejarah hilang atau dilebur dalam mapel rumpun lain yaitu IPS.
Kemudian paragraf dua, saudara Anin mempersoalkan bahwa perjuangan guru-guru, asosiasi, dosen, dan pemerhati sejarah terhadap persoalan penyederhanaan kurikulum karena menghilangkan mapel sejarah dalam struktur kurikulum “lebih pada persoalan politis dibandingkan persoalan subtansial” sungguh keliru. Narasi yang diusung bukan sebatas kekhawatiran hilangnya jam guru sejarah, ini karena jauh lebih serius permasalahannya yaitu krisis kebangsaan.
Carut marutnya kehidupan berbangsa khususnya di generasi muda seperti merebaknya chauvinisme, primordialisme, dan kuatnya rongrongan ideologi luar dan mengarah pada disintegrasi bangsa, berawal dari proses pendidikan yang memperkuat jati diri bangsa sudah digembosi. Apakah persoalan ini bersifat politis maupun substantif, dapat diperdebatkan lebih jauh. Hanya saja bukan seperti yang disangkakan oleh saudara Anin, persoalan ini bukan untuk kelompok kepentingan tertentu. Persoalan krisis kebangsaan ini menjadi tanggung jawab bersama sebagai warga negara Indonesia yang salah satu obat penawarnya dengan penguatan pengenalan sejarah bangsanya sejak dini terutama di kalangan generasi muda.
Narasi berikutnya yang menjadi ambigu bagi saya, terhadap paragraf yang menyebutkan bahwa sistem persekolahan modern termasuk di Indonesia disandra oleh imperatif ekonomi dan sosial-budaya. Narasi yang digulirkan oleh Bruce ValSledright ini dapat mengancam dasar dari pengembangan kurikulum. Sejatinya kurikulum memang dibuat untuk suatu kepentingan tertentu. Bagi pendidikan Indonesia, kurikulum digunakan sebagai “alat” untuk mencapai tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan nasional di Indonesia merujuk pada undang-undang adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri, serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Ini artinya tanpa adanya imperatif secara sosial, ekonomi, bahkan politik, kurikulum tidak akan jelas arahnya mau dibawa ke mana. Dan mata pelajaran sejarah memiliki posisi dalam kurikulum untuk ikut menyumbang pembentukan manusia dalam bermasyarakat dan berbangsa.
Selanjutnya dalam sub artikel Anin mengenai rancangan kurikulum yang kurang berpihak pada murid kurang beralasan. Pasalnya rancangan kurikulum tidak terlepas dari landasan psikologis, yang tentunya saudara Anin sangat paham karena kapasitas beliau sebagai akademisi, peneliti, dan ahli di bidang psikologi. Setidaknya ada dua kajian psikologi yang digunakan dalam mendasari pengembangan kurikulum yaitu psikologi perkembangan dan psikologi belajar. Dalam psikologi perkembangan sedikitnya ada tiga teori atau pendekatan perkembangan individu yaitu pertahapan, diferensial, dan isaptif. Mudahnya tidak mungkin seorang anak SD diberikan beban muatan kurikulum setingkat dengan SMP. Pasti sesuai dengan kajian pentahapan perkembangan anak, baik kompleksitas, beban belajar, keluasan, pendalaman kurikulumnya.
Saudara Anin juga menuliskan bahwa “murid bukan seperti cawan kosong yang diisi dengan fakta dan nilai-nilai.” Persoalan ini bukan hal baru karena sudah diperdebatkan sejak abad ke 17 terutama sejak John Lock berbicara mengenai konsep Tabula Rasa. Secara psikologis, kami juga sadar bahwa tiap anak memiliki gaya belajar yang berbeda dan tingkat pemahaman yang berbeda pula. Untuk itu pembelajaran baiknya menggunakan teknik dan metode yang beragam untuk mengcover daya serap dan daya olah setiap siswa dalam pembelajaran.
Berkaitan dengan kompleksitas pembelajaran sejarah yang bersifat kronologis dan faktual, kami sudah mengembangkan berbagai pendekatan. Kekhawatiran saudara Anin terhadap pembelajaran sejarah yang sangat panjang dan membebani konsep yang rumit tersirat dalam statment, “Hal-hal ini tidak mungkin dilakukan jika kurikulum sejarah masih meminta murid untuk mempelajari secara komprehensif fakta sejarah dari kurun waktu ratusan tahun”. Kami memiliki berbagai alternatif pendekatan pembelajaran sejarah untuk mempelajari secara konfrehensif fakta sejarah yang panjang. Pendekatan yang dimaksud adalah dengan konsep periodisasi dan sinkrononik. Artinya satu peristiwa di masa lalu dipilah berdasarkan periode waktu, ruang tema tema. Kemudian peristiwa tersebut dikaji secara tematis dari berbagai pendekatan terutama sosial, sehingga fakta sejarah menjadi kaya akan informasi. Keluhan keluasan maupun kedalaman konten pembelajaran sejarah dapat disiasati dengan guru memilih mana materi yang sesuai dengan kebutuhan siswa dan pencapaian kurikulum. Tidak perlu semua peristiwa dan fakta dijejalkan ke siswa, cukup peristiwa penting yang berkaitan dengan kepentingan siswa di masa datang serta tujuan pendidikan.
Terakhir saudara Anin berdalih murid memiliki masa depan yang panjang, sehingga perancangan kurikulum perlu memprioritaskan tujuan belajar yang bermanfaat bagi kehidupan murid dalam jangka panjang. Salah satu untuk mewujudkannya, menurut saudara Anin, “kurikulum tidak boleh semata disetir keinginan mewariskan tradisi dan nilai-nilai yang saat ini diyakini kebenarannya oleh masyarakat. Pelajaran sejarah, misalnya, tidak boleh lagi dilihat semata-mata sebagai sarana menumbuhkan identitas kebangsaan.” Timbul pertanyaan lebih jauh dari pernyataan ini, apakah saudara Anin ingin di dalam kurikulum itu dihilangkan dari pewarisan tradisi dan nilai-nilai contohnya karakter yang khas ketimuran? Sekali lagi bahwa ciri khas dari suatu kurikulum di suatu negara bertumpu pada nilai-nilai dan pewarisan tradisi yang berkembang dan diyakini sampai saat ini. Padahal aspek inilah yang membedakan nanti lulusan siswa dari hasil cetak kurikulum Indonesia dengan di barat contohnya. Memiliki karakter kebangsaan dan ketimuran khas sebagai warga negara Indonesia. Jangan khawatir bahwa nilai dan tradisi ini di masa depan tidak diperlukan oleh negara lain karena itulah ciri dari pendidikan di Indonesia.
Tujuan pembelajaran sejarah bukanlah untuk membentuk siswa menjadi orang yang berpandangan sempit dan memandang segala persoalan secara hitam putih, seperti yang dikhawatirkan Van Boxtel dan van Drie dalam artikelnya historical reasoning: towards a framework for analyzing reasoning about the past. Justru dalam pembelajaran sejarah siswa dibiasakan untuk melatih berpikir kronologis, diakronis, dan sinkronis serta dibiasakan menerima berbagai perbedaan dengan adanya peritiwa kontrovesi contohnya. Bukankah setiap versi dalam peristiwa mengajarkan bahwa kebenaran dalam sejarah bergantung pada fakta (interpretasi) dari data yang menafsirkan peristiwa. Ini artinya seorang pembelajar sejarah dituntut untuk kritis dan sekaligus dapat arif dalam menilai sebuah perbedaan.
Akhirnya wacana yang dituliskan saudara Anin sangatlah tidak relevan atas nama kurikulum yang berpihak pada siswa dengan menyebutkan bahwa riuhnya soal draf sosialisasi penyederhana kurikulum ini di masyarakat, pemerintah akan menghadapi tekanan politik di segala penjuru. Andaikan saja penyederhanaan kurikulum ini ada proses dialog dan kajian menyeluruh yang melibatkan berbagai pihak terlebih dahulu, tidak langsung disosialisasikan ke sekolah-sekolah yang dianggap sudah final serta tidak merugikan salah satu pihak contohnya hilangnya salah satu mapel dengan alasan penyederhanaan kurikulum, maka polemik ini tidak akan terjadi.
Wallahualam bishawab.***
Penulis adalah Guru Sejarah.