DIDIKPOS.COM – Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) , Fahriza Marta Tanjung, mengatakan, pihaknya melihat sekolah-sekolah belum siap menyelenggarakan pembelajaran tatap muka (PTM), baik dari protokol kesehatan (prokes) maupun infrastruktur. Yang terjadi, sekolah-sekolah malah meminta izin kepada orang tua untuk PTM.
“Upaya yang terbalik yang dilakukan sekolah. Seharusnya izin dari orang tua ini terakhir. Seharusnya ada izin dari pemda (pemerintah daerah), kesiapan sekolah, baru izin dari orang tua. Kenyataan di lapangan, izin orang tua dulu diminta. Sementara sekolahnya, kita enggak tahu siap atau tidak. Kita enggak tahu apakah pemda akan memberikan izin atau enggak,” ujarnya, dikutip Sindonews.com, Senin (21/12/2020).
“Penyebaran virus Covid-19 yang belum terkendali dan orang yang terpapar makin banyak itu merupakan peringatan dalam upaya PTM. Kami menyesalkan keputusannya ada pada pemda. Itu jadi persoalan,” sambungnya.
Ia mengungkapkan, rencana PTM ini seperti dipaksakan di tengah kebuntuan pemerintah pusat dan pemda untuk memperbaiki pembelajran jarak jauh (PJJ). Ada indikasi pemda-pemda berlomba membuka sekolah meskipun masih ada kasus Covid-19 di wilayahnya.
“Kalau belajar dari pengalaman lalu, relaksasi di zona kuning dan hijau banyak yang melanggar ketentuan SKB (4 Menteri). (Pelanggaran) misalnya, tidak melakukan atau memenuhi semua persyaratan pada daftar periksa. Kalau diikuti paparan Kemendikbud saat SKB 4 Menteri yang ketiga, di zona merah ada yang buka,” tuturnya.
Menurut Fahriza, PJJ masih harus dilakukan di sekolah yang berada di wilayah yang kasus Covid-19 masih tinggi. Pemerintah harus meningkatkan kualitas PJJ-nya. Pemerintah pusat dan pemda harus mendorong interaksi antara guru dan siswa. Selama ini, dalam PJJ daring kadang-kadang tidak ada interaksi.
Selanjutnya, sekolah dan guru harus aktif berinteraksi dengan para orang tua. Orang tua yang selama pandemi menjadi guru dadakan memerlukan pendampingan karena tidak memiliki ilmu untuk mengajar. Kemudian, pemerintah harus memperbaiki kurikulum.
“Masalahnya, dalam aturan masih ada opsi menggunakan kurikulum nasional. Seharusnya ada penegasan menggunakan kurikulum darurat. Banyak sekolah yang masih melaksanakan kurikulum secara nasional. Penyederhanaan kurikulum oleh kementerian belum selesai. SMK tidak ada dokumen yang disederhanakan oleh kementerian,” pungkasnya. (des)***