JAKARTA, DIDIKPOS,- Indonesia menempati peringkat ke-72 dari 77 negara dalam survei kualitas pendidikan yang dikeluarkan oleh Programme for International Student Assessment (PISA), di Paris, pada 3 Desember 2019.
Data ini menjadikan Indonesia bercokol di peringkat enam terbawah, masih jauh di bawah negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Brunei Darussalam. Survei PISA merupakan rujukan dalam menilai kualitas pendidikan di dunia, yang menilai kemampuan membaca, matematika dan sains.
Menyikapi kondisi itu, pengamat pendidikan, Budi Trikorayanto, menilai kompetensi guru yang rendah dan sistem pendidikan yang terlalu kuno menjadi penyebabnya.
Menurut Ketua Asosiasi SekolahRumah dan Pendidikan Alternatif (AsahPena) Kota Tangerang Selatan itu, ada tiga masalah yang masih membelenggu pendidikan Indonesia.
Pertama, kompetensi guru di Indonesia masih berada di tingkat yang sangat rendah. Padahal, untuk menghasilkan murid-murid cerdas diperlukan sumber-sumber pengajar yang kompeten.
“Faktor yang bisa membuat anak pintar atau tidak adalah guru. Jadi memang kompetensi guru kita sangat rendah, bisa dilihat dari hasil UKG (Uji Kompetensi Guru), nilainya di bawah 5 rata-rata,” ujar Budi, Sabtu (8/2/2020).
Kedua, lanjutnya, Sistem pendidikan yang membelenggu.
Di era pendidikan 4.0, seharusnya guru tidak lagi menjadi narasumber utama dalam sistem pembelajaran, melainkan sebagai pendamping, penyemangat dan fasilitator.
Jika sistem pendidikan 4.0 ingin berhasil, maka anak-anak murid harus diedukasi untuk menjadi lebih aktif.
“Kita masih menganut pendidikan massal, sekolah masih ‘pabrik’ , itu kan edukasi 2.0. Kita sudah di-edukasi 4.0 yang sudah zamannya artificial intelligence (AI) bukan lagi pabrik,” ujarnya.
Budi berharap anak-anak lebih diedukasi untuk aktif belajar dan mencari tahu sesuatu dari sumber-sumber lain di luar sekolah, misalnya lewat situs-situs yang terverifikasi dan memiliki kredibilitas di internet.
“Setiap anak mempunyai karakter yang berbeda-beda. Mereka akan menjadi lebih cerdas bila mempelajari suatu hal yang berkenaan dengan minat dan bakatnya,” terangnya.
Terakhir, imbuh Budi, perlunya meningkatkan kualitas lembaga pendidikan yang mencetak guru-guru berkualitas di masa depan. Ia mencontohkan salah satunya yakni Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP).
“Model pengajaran di IKIP yang seperti itu membuat guru kurang punya ide kreativitas dan kurang eksplor dengan akademisnya. Tak heran jika setiap tahun ketika ada UKG mereka hasilnya selalu rendah,” tandas Budi, dikutip DW Indonesia.(des)***