DIDIKPOS.COM – Ketua Umum Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) Pusat, Budi Djatmiko, mengatakan, hanya 30 persen Perguruan Tinggi Swasta (PTS) mampu memperlakukan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) atau secara darin (Online).
“Kemarin saya sudah panggil pimpinan wilayah untuk mendengar (kesaksian) rektor (soal PJJ) seperti apa. Kira-kira keberhasilannya 30 persen yang sudah dilakukan tiga bulan ke belakang,” kata Budi, baru-baru ini.
Budi mengungkapkan, kendala yang dihadapi PTS dalam melaksanakan PJJ, terutama dikarenakan keterbatasan fasilitas. Ini juga termasuk keterbatasan pada mahasiswa, dosen, dan kampus. Ia menyatakan tidak semua mahasiswa dan dosen punya fasilitas teknologi yang memadai untuk PJJ.
“Dari total 4.500 jumlah PTS yang tercatat pada APTISI, hanya sebanyak 5 persen saja yang dapat melaksanakan pembelajaran daring secara optimal yang didukung dengan fasilitas yang memadai,” katanya.
Dijelaskannya, kondisi itu dapat dimaklumi karena Kemendikbud baru memulai pembelajaran secara online pada Perguruan Tinggi (PT) sejak 2015. Sebelum pandemi, hanya 7 PT yang melasanakan pembelajaran daring.
“Selain kendala pada kampus dan mahasiswa, pemerintah juga gagal memenuhi fasilitas pembelajaran daring untuk kampus dan sekolah. Untuk itu, seharusnya Kemendikbud memenuhi kebutuhan dan memberikan bantuan dana jika menetapkan PJJ atau pembelajaran online, agar tahun akademik baru tetap berlangsung,” terangnya.
Ketua Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri Indonesia, Jamal Wiwoho, menilai Kemendikbud seharusnya membantu panduan teknis soal penerapan PJJ untuk PT.
“Pengaruh pertama itu substansi legalnya. (harus ada) substansi pengaturan soal bagaimana PJJ dilakukan. Misalnya sistem yang digunakan,” ujarnya.
Meskipun sebagian besar perguruan tinggi negeri (PTN) sudah bisa melakukan pembelajaran daring, ia mengingatkan tidak semua kampus bisa beradaptasi dengan baik dan cepat.
Kendala yang umum didapati, misalnya perkara biaya. Jamal mengingatkan ketika pembelajaran dilakukan daring, banyak biaya yang perlu dikerahkan kampus. Ini mulai dari membeli server, memenuhi fasilitas sampai membantu biaya kuota civitas kampus. Sedangkan di sisi lain, mahasiswa juga meminta keringanan Uang Kuliah Tunggal (UKT) secara serentak.
Jamal memastikan pihaknya sudah menerapkan kebijakan pengajuan keringanan UKT bagi mahasiswa yang membutuhkan. Namun jika hal tersebut dilakukan tanpa seleksi, ia khawatir akan berpengaruh pada pembiayaan PJJ selama pandemi.
“Sedangkan biaya diluar menyesuaikan Covid-19 tadi sangat besar. Misalnya untuk menyediakan server baru harus menyiapkan dana sebesar Rp 4,8 miliar. Kami juga sudah berikan mahasiswa untuk pulsa Rp 2,6 miliar,” ujarnya .
Diketahui, Kemendikbud meminta kampus menganggarkan biaya untuk membantu biaya kuota internet kepada mahasiswa. Namun Jamal melihat hal ini bisa menjadi kendala untuk Perguruan Tinggi yang belum memegang entitas badan hukum. Ini karena akuntabilitas dan posisi hukumnya bisa dipertanyakan bagi PTN berstatus badan layanan umum dan satuan kerja. (des)***