Opini  

Masih Pentingkah Sejarah Indonesia sebagai Mata Pelajaran Wajib?

Share

Oleh Yati Mulyawati, S.Pd.

KURIKULUM 2013 menempatkan Sejarah Indonesia sebagai mata pelajaran wajib. Artinya semua peserta didik di jenjang pendidikan menengah (SMA/MA/SMK) wajib menerima mata pelajaran ini. Sebenarnya apakah penting mata pelajaran sejarah Indonesia diberikan kepada peserta didik? Di era digital seperti saat ini, belajar apapun bisa diakses melalui media sosial. Semua orang bisa menjadi guru. Kelas virtual pun lebih menarik daripada ruang kelas yang masif. Jadi kegiatan pembelajaran bisa dilakukan secara merdeka dengan ruang belajar virtual. Anggaran pendidikan pun bisa disederhanakan sesuai dengan pola pembelajaran tersebut. Namun apakah pemikiran tersebut benar?

Banyak tanggapan, bila pendidikan dulu lebih baik daripada sekarang. Lebih jelas dan terarah, lulusan SMA lebih siap masuk ke perguruan tinggi. Lulusan STM dan SMEA (sekarang SMK), lebih siap terjun ke dunia Usaha dan Industri dibanding dengan sekarang. Banyak masyarakat yang menilai, bila materi pelajaran waktu mereka sekolah lebih mudah dicerna dibandingkan saat ini. Anggapan tersebut muncul dari pelaku yang hidup di masa lalu dan masa kini. Jadi, untuk bicara tentang masa kini dan masa depan, kita akan membicarakan masa lalu juga. Sangatlah dungu bila ada yang menyatakan, “Saya tidak tahu masa lalu, tapi saya tahu masa depan”. Manusia bukan Tuhan. Tidak ada satu orang pun yang tahu akan masa depan. Manusia hanya bisa memprediksi masa depan, melalui gejala-gejala yang ditunjukkan oleh proses sosial yang terjadi. Proses sosial itu membangun gerak sejarah baik berupa perubahan, pengulangan, perkembangan, dan berkesinambungan. Dari hal inilah manusia masa kini bisa mempelajari dan memprediksi masa depan. Begitupun dengan mengurus dunia pendidikan. Sejarah pendidikan Indonesia di masa lalu, yang paling dekat adalah pelaksanaan Kurikulum 2013, wajib menjadi pijakan analisa untuk pengembangan kurikulum pendidikan Indonesia di masa yang akan datang. Jangan sampai, pijakan penyusunan kurikulum pendidikan tidak berkaca pada kekurangan dan kelebihan kurikulum yang sudah disusun.

Wacana perubahan kurikulum baru di tahun 2021, samar-samar terdengar, dan akan terjadi penyederhanaan mata pelajaran. Bila berbicara penyederhanaan mata pelajaran, wajib dikaji juga, apakah benar struktur kurikulum yang berlaku saat ini, sangat berat? Mata pelajaran yang harus dipelajari dan dikuasai oleh peserta didik dinyatakan terlalu banyak. Bila benar demikian, kajian terhadap anggapan tersebut harus dibuktikan dengan membandingkan jumlah mata pelajaran yang diberikan pada anak didik di Indonesia dengan di negara lain. Bila memang benar, struktur kurikulum saat ini sangat berat, permasalahannya ada di mana? Apakah di struktur kurikulumnya? Apakah di dalam konten materinya, atau justru dari kompetensi pedagogik dan profesional gurunya sebagai tenaga pendidiknya? Alangkah lebih baiknya, dikaji secara cermat dan perbaiki yang kurangnya daripada mengubah total struktur kurikulum pendidikan Indonesia.

Belajar dari masa lalu bukan berarti menandakan kita sebagai manusia yang bodoh. Justru manusia cerdas akan selalu belajar dari masa lalu, meskipun dia tidak tahu masa lalu. Mana ada manusia yang hidup masa kini yang tahu masa lalu dengan baik, hal ini disebabkan kita adalah manusia masa kini. Namun begini, manusia masa kini bisa ada karena ada manusia masa lalu yang melakukan gerak sejarah. Alangkah bijaksananya bila manusia masa kini berkaca dari masa lalu. Namun jangan sampai kaca masa lalu ini dipecahkan, apakah kita akan berkaca pada tembok? Tentu saja tidak bukan. Oleh karenanya, Sejarah wajib diajarkan kepada manusia masa kini baik secara informal maupun formal.

Sekolah sebagai lembaga pendidikan, tentunya sangat pas sebagai media menyemaian pengetahuan dan pemahaman sejarah. Khususnya Sejarah Indonesia. Hanya saja, Sejarah Indonesia sebagai mata pelajaran, ada indikasi ada proses pengebirian. Draf kurikulum 2020, tidak menempatkan Sejarah Indonesia sebagai mata pelajaran wajib. Artinya, peserta didik tidak perlu belajar sejarah. Upaya pengebirian sebenarnya sudah terjadi di jenjang SMK. Meskipun hingga saat ini di SMK, mata pelajaran Sejarah Indonesia berkedudukan sebagai mata pelajaran wajib, namun disunat beban belajarnya hanya diberikan di kelas X (sepuluh) selama satu tahun, dengan waktu 3 JP/minggu (3X45 menit). Materi yang harus diterima oleh peserta didik, sama dengan isi materi yang diterima oleh peserta didik di SMA. Hanya saja peserta didik di SMA akan manerima materi tersebut dalam waktu 2 JP/minggu, selama 3 tahun. Pastinya ada perbedaan proses dan hasil belajar Sejarah Indonesia di SMK dengan di SMA.

Kabar samar-samar yang beredar adalah tim penyusun draf Kurikulum 2020, menjadikan sejarah sebagai bagian dari rumpun IPS yang akan dipilih oleh peserta didik di kelas XI dan XII, sedangkan di kelas X, sejarah Indonesia akan disampaikan terintegrasi ke dalam mata pelajaran IPS, tidak beda dengan struktur kurikulum SMP, dan memposisikan sejarah Indonesia sebagai rumpun IPS dengan kedudukan sebagai mata pelajaran dasar kejuruan di SMK. Draf kurikulum yang sampai secara samar ini sangat absurd di tengah wacana Profil Pelajar Pancasila sebagai output yang diharapkan. Apa mungkin, seorang pelajar Pancasila tidak paham sejarah? Bila seseorang tidak memiliki pemahaman sejarah, jangan harapkan dia memiliki rasa nasionalisme. Profil pelajar Pancasila yang dimaksud ini adalah mereka yang saat ini duduk di bangku pendidikan pra-sekolah, pendidikan dasar (SD dan SMP), serta pendidikan menengah (SMA/MA/SMK). Mereka inilah yang pada tahun 2045 akan duduk sebagai pemimpin bangsa. Apa jadinya bila seorang pemimpin tidak memiliki pemahaman sejarah bangsanya sendiri. Penggiringan pada situasi kondisi generasi muda Indonesia yang A historis secara pelan dan pasti semakin jelas. Sangat disayangkan bila kabar tentang draf kurikulum baru tersebut benar adanya, karena akan muncul kedunguan yang baru.

Pendidikan dan pengajaran Sejarah Indonesia di jenjang pendidikan menengah (SMA/MA/SMK) bukanlah pilihan, namun merupakan kewajiban. Pelajar Pancasila wajib memahami sejarah, sehingga terbangun rasa nasionalisme yang tinggi sebagai bangsa Indonesia. Padahal, Kurikulum 2013, mengarahkan peserta didik untuk memiliki 5 karakter dasar, yakni; religius, integritas, nasionalis, mandiri, dan gotong royong. Justru kelima karakter dalam PPK (Penguatan Pendidikan Karakter) akan menjelma sebagai Profil Pelajar Pancasila. Secara sederhananya, seorang Pelajar Pancasila yang diwacanakan oleh pemerintah ini, wajib diberikan penguatan terhadap 3 hal, yakni ; 1) agama (religius), 2) sejarah (nasionalis), 3) budaya (mandiri, gotong royong, integritas). Berdasarkan konsep dasar tersebut, maka pendidikan agama, sejarah, pelajaran budaya (bahasa, tekhnologi, seni, pendidikan karakter warganegaraan) harus menjadi mata pelajaran wajib. Bila salah satunya dijadikan sebagai mata pelajaran pilihan, maka terjadi sebuah ketidakajegan antara konsep dengan pelaksanaan.

Simpulannya, Sejarah Indonesia wajib diajarkan di berbagai jenjang pendidikan formal dengan melihat perkembangan psikologi peserta didik. Di tingkat pendidikan dasar (SD), Sejarah Indonesia diajarkan secara estetis yang bertujuan untuk  memunculkan cinta pada perjuangan bangsa, mengenal pahlawan dan menumbuhkan rasa cinta tanah air dan bangsa. Di tingkat SMP, cara mengajarnya harus menggunakan pendekatan etis, tujuannya untuk menanamkan sebuah pengertian dan pemahaman bila mereka hidup bersama orang lain, masyarakat, dan kebudayaan baik dahulu maupun sekarang. Di jenjang SMA/MA/SMK, pendekatan kritis harus diterapkan. Peserta didik diarahkan dan digiring untuk berpikir tentang mengapa sebuah peristiwa terjadi, apa sebenarnya yang terjadi, dan ke mana arah kejadian tersebut bergerak. Oleh karenanya, di jenjang pendidikan menengah, Sejarah Indonesia wajib diposisikan sebagai mata pelajaran dasar atau wajib yang akan diterima oleh peserta didik di semua tingkatan belajar.

Semoga saja kabar samar-samar tentang pergeseran kedudukan mata pelajaran sejarah dalam draf Kurikulum 2020 tidak benar adanya, dan bila benar terjadi seperti yang tersiar, maka betapa dungunya para pengelola pendidikan di negeri ini. “Saya memang tidak tahu masa lalu, tapi saya akan belajar dari masa lalu untuk bisa hidup di masa depan”. Bila Sejarah Indonesia dihilangkan sebagai mata pelajaran dalam kurikulum pendidikan Indonesia, siap-siaplah generasi bangsa ini menjadi pemimpin banga yang A- Historis (tidak tahu sejarah). Bila itu memang disepakati, tidak apa-apa, namun bila bukan sebuah kesepakatan, maka posisikan pendidikan sejarah di pendidikan formal dengan menempatkan Sejarah Indonesia sebagai mata pelajaran wajib yang diberikan di semua tingkat (kelas X, XI, dan XII) di SMA, MA, serta SMK.***

Penulis adalah Guru SMA Negeri 1 Ciawi, Kabupaten Tasikmalaya