DIDIKPOS.COM – Pemerintah perlu merancang pencegahan masalah mental yang bisa timbul dari siswa selama pembelajaran jarak jauh (PJJ). Kasus depresi akibat penerapan PJJ di masa pandemi Covid-19 ini kerap muncul.
“Tewasnya siswa yang berusia 15 tahun di Tarakan, Kalimantan Utara, mengejutkan kita semua. Apalagi pemicu korban bunuh diri adalah banyaknya tugas sekolah daring yang menumpuk, belum dikerjakan korban sejak tahun ajaran baru. Padahal syarat mengikuti ujian akhir semester adalah mengumpulkan seluruh tugas tersebut,” kata Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia bidang Pendidikan, Retno Listyarti, dikutip Pikiran-Rakyat.com, Jumat (30/10/2020).
Menurut Retno, kasus bunuh diri bukan sesuatu yang terjadi secara tiba-tiba, melainkan adanya akumulasi dan rentetan panjang yang dialami individu. Hal itu membuat dia tidak kuat menanggung beban sendirian.
“Sebenarnya, PJJ sudah berlangsung lama. Artinya, sudah banyak yang mulai bisa beradaptasi. Namun, ada juga yang justru makin terbebani. Salah satunya adalah siswa SMP di Tarakan,” katanya.
Retno menuturkan, dirinya mendengarkan langsung penjelasan rinci dari ibunda korban dalam suatu dialog interaktif di salah satu TV Nasional pada 29 Oktober lalu.
Menurutnya, ibunda korban menjelaskan siswa tersebut sebagai sosok pendiam dan memiliki masalah dengan pembelajaran daring.
Anak korban lebih merasa nyaman dengan pembelajaran tatap muka, karena PJJ tidak disertai penjelasan guru, hanya memberi tuga-tugas saja yang berat dan sulit dikerjakan.
Ibu korban, lanjutnya, menjelaskan bahwa saat PJJ fase pertama, kesulitan PJJ masih bisa diatasi karena materi pembelajaran sudah sempat diterima para siswa selama 9 bulan dan saat PJJ sudah menjelang ujian akhir tahun.
“Ketika PJJ fase kedua pada tahun ajaran baru (Juli, 2020), saat naik ke kelas IX, semua materi baru dan penjelasan materi dari guru sangat minim, sehingga banyak soal dan penugasan yang sulit dikerjakan atau diselesaikan para siswa. Akhirnya tugasnya menumpuk hingga jelang ujian akhir semester ganjil pada November 2020 nanti,” ujarnya.
Tutur Retno, pada 26 Oktober 2020, ibu korban mengaku menerima surat dari pihak sekolah yang isinya menyampaikan bahwa anak korban memiliki sejumlah tagihan tugas dari 11 mata pelajaran. Rata-rata jumlah tagihan tugas yang belum dikerjakan anak korban adalah 3-5 tugas per mata pelajaran.
“Bisa dibayangkan beratnya tugas yang harus diselesaikan ananda dalam waktu dekat, kalau rata-rata 3 mata pelajaran saja, ada 33 tugas yang menumpuk selama semester ganjil ini,” katanya.
Retno menambahkan, KPAI mendorong Kemendikbud RI, Kementerian Agama (Kemenag) RI, dinas-dinas Pendidikan, dan Kantor Wilayah Kemenag untuk melakukan monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan PJJ fase kedua yang sudah berjalan selama 4 bulan.
“Tidak ada kasus bunuh diri siswa, bukan berarti sekolah atau daerah lain baik-baik saja melaksanakan PJJ. Bisa jadi kasus yang mecuat ke publik merupakan gunung es dari pelaksanaan PJJ yang bermasalah dan kurang mempertimbangkan kondisi psikologis anak, tidak didasarkan pada kepentingan terbaik bagi anak,” pungkasnya. (des)***