DIDIKPOS.COM – Kerap didengung-dengungkan betapa pentingnya pendidikan karakter ditanamkan kepada pribadi siswa sejak dini. Menyusul terjadinya beberapa kasus yang melibatkan siswa, seperti tawuran, seks bebas, dan penyalahgunaan narkoba, biang dari pemicu persoalan pun diungkit-ungkit.
Konon, kata sebagian kalangan, pangkal dari munculnya persoalan yang melibatkan siswa yaitu tidak efektifnya penanaman pendidikan karakter kepada mereka. Pentingnya pendidikan moral hanya berhenti dalam tataran himbauan dan wacana. Di sisi lain, masih kata kalangan itu, realitas di sekolah menunjukkan proses pembelajaran lebih condong kepada mengejar nilai semata. Penanaman “nilai-nilai” kebajikan melalui proses pembelajaran yang mengedepankan “mendidik” terabaikan.
Wajar jika kekhawatiran semakin terpinggirkannya pendidikan karakter di sekolah muncul ke permukaan. Bukankah dalam kehidupan sehari-hari kerap muncul ungkapan,”Wah saya salut sama orang ini mah. Dia punya karakter, tidak mencla-mencle. Setiap tindaknnya selalu merujuk kepada norma, moral, dan etika”.
Bandingkan dengan ungkapan ini, “Manusia ini enggak jelas. Di mana sebenarnya dia berposisi? . Suatu ketika dia berpura-pura menjadi orang baik. Namun di saat yang lain, kelihatan belangnya. Setiap tindakannya selalu tanggul dirarud, catang dirumpak (menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan). Moralnya ditaruh di mana?”.
Ya, memang jika dieskalasikan, akan muncul pertanyaan, apakah hadirnya tabiat buruk manusia saat dewasa, bisa disimpulkan berdasarkan hukum sebab akibat. Atau dengan kata lain, buruknya tabiat manusia waktu beranjak dewasa disebabkan tidak berhasilnya pendidikan moral di kala kecil?
Itu bisa diperdebatkan. Persoalannya, ada juga koruptor yang dicokok KPK berlatar belakang pendidikan moral yang mumpuni. Namun, dalam laporan utama kali ini tak akan membahas soal itu.
Yang jelas, kala pendidikan karakter dipersoalkan, pada saat itulah muncul anggapan, karut-marutnya bangsa ini, sebagian disumbang karena Negeri Ini tak punya lagi perhatian terhadap pentingnya pendidikan karakter. Pada waktu bersamaan, bangsa Indonesia mengagung-agungkan teknologi tinggi yang kasat mata. Sementara penanaman nilai-nilai kebajikan ke dalam pribadi siswa malahan dikesampingkan.
Namun, tampaknya persoalan pendidikan tidak sesederhana itu. Mantan Rektor Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Prof. H. Furqon, Ph.D., mengungkapkan, persoalan pentingnya pendidikan karakter pasti disetujui berbagai kalangan. Yang patut dicatat, kegagalan pendidikan karakter jangan melulu ditimpakan kepada proses pembelajaran di sekolah.
“Apakah yang mempengaruhi pribadi siswa hanya proses pendidikan di sekolah? Tentu saja tidak. Banyak aspek yang memberikan sumbangsih kepada pembentukan karakter seseorang. Selain sekolah, proses pendidikan oleh orang tua dan pengaruh dari lingkungan sangat besar pengaruhnya. Itulah yang disebut dengan pendidikan semesta,” kata Furqon, kepada didikpos.com, beberapa waktu lalu.
Dan, dalam memandang suatu persoalan, memang diperlukan pandangan menyeluruh. Untuk proses pembelajarn di sekolah sendiri, anggapan yang menyebutkan gagalnya pendidikan karakter karena tidak efektifnya penyampaian mata pelajaran pendidikan agama dan pendidikan kewarganegaraan (PKn), masih bisa diperdebatkan. Mantan Kepala Dinas Pendidikan Jawa Barat, Dr. H. Asep Hilman, M.Pd., mengatakan, tanggung jawab untuk menyampaikan pendidikan karakter bukan hanya tanggung jawab guru pendidikan agama dan guru PKn.
“Semua guru bertanggung jawab untuk menanamkan pendidikan karakter kepada siswa,” kata Asep, seusai menghadiri “Silaturahmi Idul Fitri 1436 H. Aptisi Wilayah IVA Jabar, ABPPTSI Wilayah Jabar dan Banten, Kopertis Wilayah IV Jabar dan Banten”, di Aula Aptisi Wilayah IVA, Cimencrang, Bandung, baru-baru ini. (dede suherlan)**