DIDIKPOS.COM – Ketua Asosiasi Profesi Pendidikan Khusus Indonesia, Munawir Yusuf, mengatakan, guru sekolah luar biasa (SLB) dan guru pendamping khusus (GPK) kebingungan memilih media belajar untuk anak berkebutuhan khusus selama pemberlakukan pembelajaran jarak jauh (PJJ).
“Jika semester depan ini masih harus menerapkan PJJ untuk semua sekolah, perlu dibuatkan kebijakan khusus bagi anak berkebutuhan khusus. Pertama, perlu dibuatkan panduan PJJ menuju new normal, khususnya bagi anak berkebutuhan khusus sesuai dengan jenis ketunaan, ini yang belum ada. Anak-anak dengan keterbatasan intelektual, autis, dan masih membutuhkan tambahan layanan terapi adalah sebagian yang paling terdampak akibat Covid-19,” ujar Munawir, dikutip detik.com, baru-baru ini.
“Jadi biasanya harus ada terapi rutin, kemudian ditiadakan, anak yang mengalami hambatan intelektual, autis yang agak sulit, agak berat, mereka tidak memungkinkan menggunakan pembelajaran daring dan orang tua juga mengalami kesulitan,” sambunya.
Munawir mengusulkan agar anak berkebutuhan khusus diizinkan kembali bertemu dengan gurunya di sekolah secara bertahap. Hal itu penting agar anak berkebutuhan khusus tidak kehilangan minat untuk kembali ke sekolah.
“Secara bertahap harus dibuka kemungkinan anak berkebutuhan khusus itu dengan didampingi orang tua atau pendamping, diizinkan untuk dipertemukan kembali dengan guru dan lingkungan sekolah. Ini untuk menghindari agar jangan sampai anak nanti terlalu berkepanjangan tidak mengenal sekolah, akhirnya akan terjadi mereka tidak mau bersekolah. Mungkin satu atau dua minggu sekali scr bergiliran. Tentu dgn protokol kesehatan yang sangat ketat,” tuturnya.
Lanjut Munawir, guru-guru juga perlu diizinkan melakukan pembelajaran langsung ke rumah-rumah siswa berkebutuhan khusus. Ia menyebut selama ini para guru tidak berani mengambil langkah karena belum ada ketentuan yang mengaturnya.
“Demikian juga guru juga dapat melakukan pembelajaran langsung door to door atau kunjungan rumah bagi anak-anak tertentu yang sangat membutuhkan perhatian khusus. Ini yang belum berani dilakukan guru karena panduan untuk ini belum dibuatkan,” ucapnya.
Munawir meminta pemerintah menyusun pembelajaran yang sesuai dengan anak berkebutuhan khusus. Pemerintah juga diminta memperhatikan terapi untuk anak berkebutuhan khusus dengan protokol kesehatan.
“Pemerintah memberikan sumber belajar yang sesuai dan mudah diakses dengan tuntutan kurikulum yang ada berbasis jenis ketunaan. Misalnya untuk tunanetra, materi pembelajaran dibuat dalam bentuk audio, untuk tunarungu disediakan materi dengan video yang dilengkapi dengan narasi tertulis. Sumber belajar untuk mereka ini adalah sangat terbatas sekali,” ujar Munawir.
Rentan Degradasi
Munawir menuturkan, anak berkebutuhan khusus termasuk kelompok yang paling rentan terjadi degradasi dalam pendidikan akibat COVID-19 dengan penerapan pembelajaran jarak jauh yang berkepanjangan.
“Pembelajaran yang telah dibangun bertahun-tahun di sekolah bisa hilang karena tidak terjadi kesinambungan dengan pembelajaran yang diterapkan di lingkungan rumah,” terangnya.
Munawir mengatakan anak berkebutuhan khusus tidak hanya membutuhkan pengetahuan, tetapi juga interaksi langsung dengan orang yang dipercaya, sentuhan, dan bimbingan intensif dengan guru dan pengasuh di sekolah.
Belajar daring tanpa interaksi langsung dengan guru akan berdampak serius terhadap anak berkebutuhan khusus.
“Terputusnya komunikasi dan interaksi langsung antara guru dengan anak berkebutuhan khusus secara berkepanjangan ini akan berdampak sangat serius, seperti misalnya tidak mau bersekolah lagi. Atau jika ada yang mau bersekolah, semua harus dimulai dari awal lagi, karena anak berkebutuhan khusus memiliki karakter yang berbeda. Ketika terhenti komunikasi dan sequency pembelajaran, bisa saja mereka akan kehilangan sesuatu dan akhirnya harus mulai dari awal,” jelasnya. (des)***