DIDIKPOS.COM – Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama (Dirjen Pendis Kemenag), Prof. Dr. H. Muhammad Ali Ramdhani, S.TP., M.T., menggulirkan program program IHSAN (Integritas, Humanis, Spritualitas, Adaptasi, Nasionalisme).
“Upaya menjadikan pendidikan Islam yang unggul dan kompetitif diperlukan langkah strategis melalui program Iihsan (Integritas, Humanis, Spritualitas, Adaptasi, Nasionalisme),” kata Ramdhani saat Pelantikan dan Pembinaan Pegawai di lingkungan UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Jumat (28/8/2020).
Ramdhani menjelaskan, Ihsan secara terminologi itu melakukan dalam melakukan perbuatan tertentu. Yakinlah bahwa engkau melihat Allah dan ketika engkau tidak mampu melihat Allah karena ketidakmampuan engkau, percayalah Allah melihatmu.
“Ini nilai-nilai religius yang kemudian diturunkan pada ruang-ruang yang lebih operasional. Hurup pertama dari Ihsan itu Integritas. Pendidikan Islam itu harus menghasilkan seseorang yang memiliki integritas yang tinggi yang memiliki karakteristik baik, perilaku yang memahami tentang etika, norma, dan lain sebagainya. Ia adalah anak atau produk dari sebuah lembaga pendidikan yang betul-betul memiliki karakter yang mulia,” tegasnya.
Lanjut Ramdhani, aspek kedua yaitu Humanis. Menurutnya, dalam proses pendidikan kerap kali nilai-nilai kemanusiaan ini menjadi tidak penting. Padahal humanity itu poros dalam membangun peradaban dengan cara-cara yang baik.
“Tumbuh kembang dari dinamika psikologi harus kita tetapkan. Tidak kemudian kita melihat anak-anak kelas II Madrasah Ibtidaiyah sudah menggendong tas yang luas biasa beratnya, mana sisi kemanusiaan kita, mana ruang bermain mereka. Itu menjadi perhatian kita dalam melakukan sebuah proses pembelajaran. Itu harus mengikuti nilai-nilai kemanusiaan,” jelasnya.
Untuk yang ketiga, sebut Ramdhani, yaitu Spritualitas. Untuk mengetahui dan melakukan sesuatu semuanya bersumber dari hukum Allah dan menyandarkan kita semua sebagai hamba Allah. Produk dari pendidikan Islam adalah menyadarkan bahwa kita hamba dari Sang Kholik.
Adapun yang keempat yaitu Adaptasi. Dikatakannya, ketika kita berusaha untuk menyandarkan pada dinamika kekinian, banyak pola-pola pendidikan, khususnya pendidikan Islam itu terlalu bermemori pada zaman keemasan, berputar-putar pada sejarah masa lalu.
“Padahal hidup bukan pada masa lalu, tetapi hidup akan menghabiskan masa yang akan datang, maka selanjutnya sebagai bagian dari ikhtiar untuk melahirkan insan-insan yang menjadi pemilik pada zamannya. Pendidikan Islam harus mampu melahirkan anak ngindung ka waktu, ngabapa ka zaman, ngigelkeun zaman keur ngigelan zaman,” paparnya.
“Untuk yang kelima yaitu Nasionalisme. Apapun bentuk dari pendidikan kita harus mampu melahirkan nasionalisme yang tinggi. NKRI harga mati,” tandas Ramdhani. (des)***