Ridwan Fauzi, Siswa MAN I Singaparna Juara Pidato Bahasa Inggris

Share

TASIKMALAYA, DIDIKPOS.COM – Sudah bukan zamannya lagi membedakan lembaga pendidikan keagamaan dan umum. Buktinya kualitas  madrasah di bawah naungan Kementerian Agama (Kemenag) prestasinya tak kalah bersaing dengan sekolah umum atau favorit di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud)

Bahkan di Kabupaten Tasikmalaya justru madrasah baik itu madrasah tsanawiyah maupun  madrasah aliyah selalu jadi favorit. Para orang tua beranggapan menyekolahkan anaknya di madrasah punya nilai plus, sebab selain memperoleh pendidikan umum juga dapat ilmu agama.

Salah satu orang tua yang menyekolahkan anaknya ke sekolah agama itu adalah Dadang A. Rasyid (45) dan Nunung Nursaadah (38), warga Randegan I, Desa Raharja, Kecamatan Purwaharja, Kota Banjar. Sejak tamat  bangku sekolah dasar anak pertamanya Ridwan Fauzi langsung dimasukan ke Pondok Pesantren (Ponpes) Sukahideung, Sukarame, Kecamatan Singaparna, Kabupaten Tasikmalaya.

Ponpes terpadu yang memadukan pendidkan formal  dan kepesantrenan ini memang salah satu yang terbaik di Kabupaten Tasikmalaya.

Para siswanya selain diasah ilmu umum juga dibekali ilmu agama. Bahkan di ponpes Pimpinan Prof. Dr. K.H. T. Fuad Wahab itu siswanya diwajibkan memahami bahasa Arab dan bahasa Inggris. Ya semacam Ponpes Gontor Ponorogo di mana para santrinya wajib memakai kedua bahasa itu.

Salah satu santri yang mahir menggunakan bahasa Inggris itu adalah Ridwan Fauzi. Siswa MAN Sukamanah ini menyabet gelar juara pertama Lomba Pidato Bahasa Inggris KKM MAN I Singaparna.  Dan juara kedua Lomba Pidato Tingkat SLTA se-Kabupaten Tasikmalaya yang digelar awal Februari 2017.

Menariknya, Ridwan awalnya hanya coba-coba  ketika ada seleksi  lomba pidato bahasa Inggris tingkat Kabupaten Tasikmalaya. Niat awalnya Ridwan ingin mengharumkan sekolahnya di tingkat kabupaten.

Seleksi memang sangat ketat, karena rata-rata siswa MAN Sukamanah adalah santri Ponpes Sukahideng di mana para santrinya sudah terbiasa menggunakan bahasa Inggris dalam percakapan sehari-hari.

Di antara sekian peserta lomba, penampilan Ridwan yang hobi ngutak-ngatik komputer itu sudah menyita perhatian juri. Bukan hanya isi pidatonya yang menarik, kepercayaan diri Ridwan juga mendapat apresiasi yang lebih dari juri.

Dari babak penyisihan diambil  peserta terbaik. Siswa yang punya hobi menulis tersebut masuk didalamnya .”Alhamdulillah, saya bisa masuk final dan akhirnya mewakili MAN 1 Tasikmalaya untuk tingkat Kabupaten Tasik,” kata Ridwan, kepada Guneman, di Ponpes Sukahideng, baru-baru ini.

Mewakili sekolah di tingkat Kabupaten adalah amanah yang harus dijalankan dengan baik. Maka, Ridwan pun giat berlatih. Dengan dibimbing guru bahasa Inggris, Ridwan menyempatkan latihan di sela-sela jeda mengaji di pesantren. Ridwan juga melihat percakapan bahasa Inggris di Youtube.

“Saya harus ikhtiar secara maksimal, perkara hasilnya adalah Allah yang menentukan,” katanya.

Setelah semuanya mantap, hari perlombaan tingkat kabupaten pun tiba. Ridwan membawakan topik pidato tentang Pemberdayaan Sekolah Madrasah Menghadapi Tantangan Globalisasi.

Isi pidatonya mengupas perbedaan utama madrasah dengan pesantren terletak pada sistem pendidikannya. Madrasah menganut sistem pendidikan formal (dengan kurikulum nasional, pemberian pelajaran dan ujian yang terjadwal, bangku dan papan tulis seperti umumnya sekolah model Barat) sementara pesantren menganut sistem non-formal (dengan kurikulum yang sangat bersifat lokal, pemberian pelajaran yang tidak seragam, sering tanpa ujian untuk mengukur keberhasilan belajar siswa, dsb.). 

Ciri lain yang umumnya membedakan keduanya adalah adanya mata pelajaran umum di madrasah. Penambahan mata pelajaran umum pada kurikulum madrasah ini tidak berjalan seketika, melainkan terjadi secara berangsur-angsur. Pada awalnya, kurikulum madrasah masih 100% berisi pelajaran agama, tanpa ada pelajaran umum (jadi, seperti pesantren, hanya di madrasah ada bangku, papan tulis, ulangan, ujian, dsb.)  Lulusan madrasah pada masa itu tidak dapat melanjutkan pelajarannya ke sekolah umum yang lebih tinggi, bahkan juga tidak dapat pindah ke sekolah umum yang sejenjang, karena memang kurikulumnya berbeda. 

 “Alhamdulillah, dengan prestasi ini semakin memotivasi saya untuk terus berprestasi,” ujar Ridwan.

Suka Debat dan Hobi Menulis

Ridwan memang mewarisi darah ayahnya yang wartawan. Di sela-sela kesibukan belajar dan mengaji Ridwan hobi menulis cerpen dan artikel. Beberapa tulisannya memang belum dipublikasikan, karena beranggapan belum layak untuk publik. “Saya mah belum pede saja, tapi kata ayah memang saya punya bakat menulis,” katanya.

Ridwan sejak di bangku MTsN Sukamanah memang terinpirasi oleh Andrea Hirata, penulis buku Laskar Pelangi. Bahkan buku Seri Laskar Pelangi dilahapnya habis. Tapi yang jadi motivasi dalam menulis adalah buku Sang Pemimpi. “Saya ingin seperti Andrea Hirata pergi belajar ke luar negeri,” katanya.

Makanya setiap dikasih uang jajan dia selalu menyisihkan untuk membeli novel inspiratip. Tentunya kegiatan membaca novel dilakukan dalam waktu senggang, karena di pesantren waktunya sangat ketat.

Rajin membaca kisah inpiratif, ternyata membentuk kepribadian Ridwan. Dia yang tadinya kurang pede tampil di muka umum, setelah itu jadi berani. Bahkan dalam waktu dekat ini akan mewakili sekolahnya mengikuti debat konstitusi yang diselenggaran Mahkamah Konstitusi (MK) di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung.

Debat Konstitusi bertujuan meningkatkan pengetahuan dan pemahaman terhadap konstitusi, membentuk sikap dan perilaku yang sesuai dengan konstitusi dan membangun budaya sadar berkonstitusi, serta mengembangkan budaya debat ilmiah di kalangan mahasiswa berdasarkan prinsip saling menguntungkan.

Kegiatan Kompetisi Debat Konstitusi Mahasiswa Antar-SLTA dilaksanakan melalui tiga tahapan, yakni Tahapan Eliminasi, Tahapan Regional, dan Tahapan Nasional.

“Alhamdulilah saya masuk tim debat mewakili Madrasah Aliyah se-Kabupaten Tasikmalaya untuk berlomba di tingkat Jawa Barat, doakan saja semoga sukses,” katanya. (haifa fauziyyah)***