Kolaborasi dengan GSM, Kemendikbud Gaungkan Link and Match untuk SMK

Share

DIDIKPOS.COM – Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) berkolaborasi dengan Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) dalam mendorong perubahan ekosistem pendidikan SMK.

Menurut Direktur Jenderal Pendidikan Vokasi, Wikan Sakarinto, kolaborasi ini harus dilakukan untuk mendorong perubahan ekosistem pendidikan yang mendukung terwujudnya link and match antara pendidikan vokasi dengan dunia usaha dan dunia industri (DUDI).

“Sinergitas antara pemerintah dengan seluruh pemangku kepentingan termasuk penggiat pendidikan di GSM merupakan keniscayaan yang harus dilakukan,” kata Wikan, dalam Workshop Penguatan Eksosistem SMK Melalui GSM, Rabu (30/9/2020).

Agar proses link and match antara satuan pendidikan vokasi dengan dunia industri berjalan selaras, maka peran kepala SMK menjadi sangat penting. Kepala sekolah juga harus memiliki karakter kuat sebagai motivator, innovator, organizing, dan controlling dalam pelaksanaan pembelajaran di SMK.

Pendiri GSM, Muhammad Nur Rizal, mengatakan, sudah ratusan sekolah negeri bahkan ribuan guru dan murid menikmati GSM.

Beberapa pemda sudah mengadopsinya seperti Sleman, Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang Selatan, Pesantren Tebuireng, dan sebentar lagi Kemendikbud.

“Jika saat ini GSM ingin diadopsi oleh Ditjen Vokasi untuk membangun ekosistem baru di Balai Besar, Sekolah SMK dan Vokasi, maka pelaku perubahannya adalah stakeholder itu semua. GSM lebih menjadi platform perubahannya,” tuturnya.

Lanjut Rizal, ada satu contoh yang bisa ditiru bagaimana mengubah sistem pendidikan yang rusak tanpa mengeluarkan sumber daya besar.

“Kita bisa belajar dari Negara Bagian Haryana, India, dengan populasi 30 juta penduduk, memiliki 15 ribu sekolah dengan ratusan ribu guru dan jutaan siswa,” sebutnya.

Dijelaskannya, sekitar 40 persen penduduk India menyekolahkan anaknya di swasta karena tidak percaya dengan sekolah negeri. Sebenarnya, kualitas gurunya tidaklah terlalu jelek, sayangnya mereka disibukkan dengan berbagai tugas administrasi, keuangan, urusan saran prasarana hingga akreditasi.

Bahkan, jika pengawas sekolah datang, yang ditanyakan urusan tetek bengek itu daripada masalah mengajar atau mengurusi kualitas pembelajarannya.

“Ini sama persis dengan yang terjadi di Indonesia,” cetusnya.

Singkat cerita, lanjutnya, pemerintah Haryana dan para aktivis melakukan perubahan. Pertama, praktik yang sudah dilakulan guru, yakni memanfaatkan benda alam seperti ranting pohon, serangga, praktik kehidupan sehari-hari sebagai instruksi pembelajaran nyata.

Kedua, memanfaatkan jalur rantai komunikasi birokrasi dari pusat, daerah hingga ranting untuk menyebarkan instruksi pembelajaran yang dibuat tim pusat ke-15 ribu sekolah, dengan memanfaatkan teknologi seperti Facebook dan WhatsApp grup.

Ketiga, menciptakan suasana bagi mereka untuk saling bertukar praktik secara alamiah.

“Hasilnya cukup mengejutkan, karena hanya dalam waktu setahun terjadi sesuatu yang menakjubkan. Kita tahu bahwa saat ini sekitar 40 persen tenaga ahli TI di dunia disuplai oleh India. Itulah kekuatan pendidikan,” ujarnya.

Menurut Rizal, proses yang terjadi di Haryana inilah yang sudah terjadi di sekolah-sekolah GSM. Mereka melakukan perubahan secara alamiah. Sayangnya keterlibatan birokrasinya di Indonesia masih minim karena memang kita membangun gerakan ini berkembang dari bawah.

“Saya berharap birokrasi membantu kami untuk terlibat langsung menjadi pelaku lapangan untuk memastikan proses terjadi dengan benar. Bukan sekadar birokrasi yang gemar menuntut, mengontrol dan memerintah berdasarkan kepatuhan administrasi saja,” pungkasnya. (haf)***