News  

Begini Alasan Kenapa Orang Indonesia Menyukai Buku Nonfiksi

orang Indonesia menyukai buku nonfiksi
Ilustrasi orang Indonesia menyukai buku nonfiksi.
Share

Didikpos.com – Buku-buku nonfiksi sebenarnya telah lama beredar. Secara global sendiri, menurut survei yang dilakukan Picodi.com di 41 negara tahun 2019, sebanyak 41% responden rupanya menyukai buku nonfiksi. Begini alasan kenapa orang Indonesia menyukai buku nonfiksi.

Berbeda dengan buku fiksi yang menyajikan hiburan dan imajinasi di dalamnya, buku nonfiksi dibuat didasarkan pada kenyataan atau hal yang sebenarnya tanpa kiasan atau dikenal juga dengan denotatif untuk menghindari makna ganda.

Contohnya, seperti buku biografi, buku autobiografi, buku kesehatan, buku literatur, ensiklopedia, dan lainnya.

Menilik tren di dunia penerbitan Indonesia beberapa tahun ke belakang, ternyata banyak penerbit mengeluarkan buku nonfiksi dan diterima dengan baik oleh para pembaca. orang Indonesia menyukai buku nonfiksi, khususnya untuk buku-buku yang memiliki tema seperti kesehatan mental hingga pengembangan diri.

Perkembangan Buku Nonfiksi di Indonesia

Menanggapi perkembangan buku nonfiksi di Indonesia, Citra Ayuning Tyas sebagai editor dari platform baca dan menulis digital Cabaca menuturkan jika perkembangan buku nonfiksi di Indonesia belakangan ini cukup pesat karena perkembangan internet dan media sosial, orang-orang menjadi ‘haus’ akan ilmu untuk memperbaiki taraf hidupnya.

“Buku bertema psikologi, keuangan, self improvement, dan lainnya sangat naik daun akhir-akhir ini. Pasar buku nonfiksi bisa dibilang sangat adaptif menjawab permasalahan atau isu-isu yang berkembang di masyarakat sehingga keberadaannya sangat dicari. Buku-buku nonfiksi yang dulunya didominasi oleh penulis luar negeri, belakangan mulai diramaikan oleh penulis lokal pasar di Indonesia seperti Filosofi Teras karya Henry Manampiring yang sudah cetak ulang sampai 50 kali,” jelasnya saat diwawancarai secara daring pada 17 Juli 2023.

Selain Citra, salah satu editor Cabaca lainnya, Arga Dara Ramadhani ikut berpendapat.

“Penerbitan buku nonfiksi sebenarnya bukan hal baru dalam sejarah perkembangan penerbitan di Indonesia. Saya melihat bahwa perkembangan buku nonfiksi dewasa ini sangat ketat dengan hadirnya banyak buku terjemahan di Indonesia. Penulis yang memiliki keahlian di bidangnya, seperti marketing, psikologi, manajemen dan masih banyak lagi, bisa mengeksplorasi skill tersebut ke bentuk tulisan.”

Survei Mengenai Buku Nonfiksi

Alasan ketertarikan pembaca pada buku nonfiksi didasari oleh berbagai faktor. Seperti pendapat para responden pada survei mengenai buku nonfiksi yang dilakukan oleh Cabaca pada tahun 2022 lalu kepada umum dan khususnya kepada para penulis Cabaca.

Sebesar 88,9% responden memilih buku nonfiksi karena didasari tema yang diangkat oleh buku tersebut, diikuti oleh 6,7% karena penulisnya, hingga faktor rekomendasi oleh orang-orang disekitarnya.

Selain itu, dari banyaknya jenis buku nonfiksi, buku dengan tema pengembangan diri banyak dipilih oleh 71,1% responden, diikuti tema mental health issue, lalu parenting dan pendidikan, hingga sejarah.

“Melihat perkembangan pasar nonfiksi yang belakangan sangat bersahabat pada penulis lokal dan banyaknya isu sosial menarik yang berkembang di masyarakat belakangan, tim editor Cabaca melihat adanya peluang bagi penulis nonfiksi lokal berkarya. Cabaca ingin turut serta dalam memfasilitasi penulis-penulis itu dalam mengedukasi masyarakat di bidang-bidang keahlian masing-masing. Kami berharap pembaca yang membutuhkan ilmu-ilmu bermanfaat tersebut bisa mengakses informasi yang mereka butuhkan dengan lebih mudah lewat aplikasi Cabaca yang bisa diakses hanya dengan gadget masing-masing.” Jelas Citra.

Arga Dara Ramadhani juga menjelaskan hal ini dilakukan untuk memperluas genre buku terbitan di Cabaca, sehingga ke depannya, pembaca bisa memiliki daftar bacaan lebih variatif terutama ketika bertandang ke Cabaca. Selain itu, tim editor sendiri ingin membuka kesempatan atau peluang kepada penulis untuk bisa menerbitkan buku nonfiksi secara digital.

Referensi Buku Nonfiksi

Karenanya, pada tahun ini Cabaca mulai hadir dengan buku nonfiksi pertama yang diterbitkan secara eksklusif. Buku Content Writing Master karya Reffi Dhinar membedah lebih dalam mengenai dunia content writing yang tidak hanya sekadar menulis artikel untuk internet, yang penting untuk para penulis, pemasar, dan pebisnis online yang ingin membangun persona bisnis lebih kuat dan menarik.

Bahasa yang digunakan penulis ringan dan sangat spesifik membahas materi content writing dan penerapannya untuk kehidupan sehari hari. Background penulis yang memiliki pengalaman di kepenulisan ilmiah dan fiksi juga jadi salah satu keunikan hingga membuat materi dalam buku Content Writing Master sangat dekat dengan pembaca.

Selain itu, Cabaca juga mengeksplor buku nonfiksi lainnya dengan akan diterbitkannya buku Enggak Ada yang Salah Denganmu yang akan dirilis pada bulan Agustus mendatang. Buku karya Astrid Savitri ini bergenre self-help atau self-improvement dan tema utama yang akan dibahas dalam buku ini berfokus pada perjalanan memahami cinta diri menuju penemuan diri sejati.

Buku Enggak Ada yang Salah Denganmu merupakan buku self improvement yang dikemas dengan cara berbeda. Ketimbang ‘menggurui’ seperti kebanyakan buku self improvement lain, di buku ini kita diperkenalkan dengan tokoh “Mentari” yang memiliki pengalaman yang relatable dengan kebanyakan pembaca.
Selain itu dari survei buku nonfiksi yang dilakukan oleh Cabaca, para responden pun memberikan judul buku yang terakhir mereka baca dan dapat dijadikan referensi.

Seperti buku Empowered Me (Mother Empowers): Ibu Berdaya Dimulai dari Diri Sendiri karya Puty Puar, lalu ada buku Save the Cat! Writes a Novel karya Jessica Brody, Better Me karya Anna Silvia, Demokrasi untuk Indonesia – Pemikiran Politik Bung Hatta karya Zulfikri Suleman, Siapa yang Datang ke Pemakamanku Saat Aku Mati Nanti? karya Kim Sang Hyun, lalu buku Jika Kita Tak Pernah Menjadi Apa-apa karya Alvi Syahrin, dan lainnya.

Seperti yang dikatakan oleh Fatimah Azzahrah, Co-Founder Cabaca, “Tren buku nonfiksi di Indonesia memang masih didominasi terjemahan. Ini juga salah satu kegelisahan saya sejak lama. Padahal seharusnya ada banyak penulis Indonesia di luar sana yang punya ‘suara’ terhadap banyak persoalan dalam kehidupan sehari-hari. Tidak harus menjadi ahli dulu untuk menuliskan satu bidang, minimal punya keberanian untuk melakukan riset dan memberi satu sudut pandang yang berbeda,” ungkapnya saat diwawancarai secara daring pada 17 Juli 2023.

Dengan begitu, diharapkan makin banyak penulis Indonesia yang terwadahi dan bisa menyuarakan pendapat, pandangan, keahlian, dan pengalamannya ke dalam buku nonfiksi.***