Balads Limos’t: Merokok di Maroko, Ngobrol Ngalor-ngidul

Share

Oleh Ojay Budi

SEKITAR pukul 13.00 WIB teman hadir di sini. Datang berempat naik mobil putih. Mereka teman dekat dan bermaksud silaturahmi.

“Mancing?”

“Ya …!”

Biasa. Memancing menjadi kebiasaan di waktu senggang. Ada alat yang dibawa dari rumah atau menyewa di tempat.

“Gampang!”

Sahutku. Kami sepakat untuk tidak ke sungai atau bendungan. Hanya berbincang di teras rumah.

Cuaca panas kurasa. Untung air minum selalu siap. Bagi perokok tak perlu asbak. Toh, halaman luas. Ada sayur, pohon jambu, dan beberapa batang pisang.

Sebelah barat ada warung.

Rumah ini besar dan panjang. Menghadap ke arah selatan menghadapi kebun seberang jalan. Aspal rapi dengan kelokan khas kampung sini. Beberapa batang bambu menjulang berumpun lebat.

Beberapa orang kulihat memancing.

Angin kurasa melepas rasa lelah. Sementara seorang ibu sibuk menyediakan makanan berat. Makan siang.

Potret pasti. Terkirimkan kepada grup alumni. Dua komentar positif.

“Nikmat!”

Makan nikmat saat berkumpul beberapa kawan lama.

“Bulan depan kita piknik!”

Kata seorang kawan mengajak.

“Siap!”

Bahagia terpancar. Cerita masa lalu tahun 80-an muncul.

“Rindu!”

Pasti rasa itu ada kala kampung bertebar kebun. Jagung, sayur, kayu besar luas terpapar. Kini berubah dengan rumah, warung, ruang kerja, dan geliat warga sana.

“Esok kita ulang!”

“Mesti malam!”

Ya, malam hari kubayangkan lain. Apalagi saat rembulan sempurna. Purnama!

“Indah pastinya!”

Ya, makan, solat, ngopi, merokok, dan ngobrol. Semua penting kala itu. Sejak duduk di warung hingga memetik buah jambu air memberi makna pertemuan tersendiri. Apalagi kunjungan hari ini tanpa janji akurat terlebih dahulu.

“Maaf, tadinya mau ke sini Minggu kemarin!”

Kata Sutris mewakili rombongan. Ya, tetap memahami apapun ungkapan teman.

Ngalor-ngidul percakapan antara orang yang ada di teras rumah bercat krem. Malah ada rencana untuk bersama melakukan acara kemping atau sekadar membuat kaos seragam alumni.

Suasana ini memang terkesan akrab dan bernuansa penuh kekerabatan. Nilai seperti inilah yang dirasa penting dalam sebuah kegiatan silaturahmi.

Sekitar pukul 16.00 WIB keempatnya berpamitan. Ayah Tata yang lama pula memberi wejangan di usia beliau yang 82 membuat kami haru. Sepuh ini sungguh luar biasa dalam hal membimbing kami yang masih relatif junior.

Apalagi Bu Guru yang sejak tetamu hadir telah sibuk di dapur. Sungguh patut disyukuri pertemuan ini terjadi, karena Tuhan jua semua menjalani dengan seksama namun penuh rileksasi.

Bahagia itu mudah rupanya. Walau kadang datang tanpa basa-basi dan berakhir secepat kilat.

“Oleh-oleh!”

Sumringahnya kami manakala bersalaman sambil berpamitan. Teriring doa, semoga Yang Maha Kuasa kembali memberi kami waktu untuk kelak bersua di sini!

Persahabatan sebagai wujud kekeluargaan yang diatur oleh-Nya. Manusia hanya melakukan atas petunjuk-Nya jua.***

Penulis tinggal di Cihampelas, Kabupaten Bandung Barat dan siap melayani teman yang suka bersilaturahmi.

Redaksi didikpos.com menerima tulisan dari pembaca berupa artikel, feature, essay. Tulisan dikirimkan melalui email: didikposmedia@gmail.com.