KPAI: Belajar Daring Bikin Psikologis Siswa Tertekan hingga Putus Sekolah

Share

DIDIKPOS.COM – Banyak siswa mengalami tekanan secara psikologi hingga putus sekolah karena berbagai masalah yang muncul selama mengikuti pembelajaran modal daring (dalam jaringan) yang dilakukan selama pandemi Covid-19.

Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bidang Pendidikan Retno Listyarti, mengatakan, munculnya kondisi itu diduga akibat keegoisan sekolah untuk menuntaskan pencapaian kurikulum. Banyak siswa merasa terbebani hingga mengalami tekanan secara psikologi, tidak naik kelas, bahkan sampai putus sekolah.

Ia memberikan contoh kasus anak yang sampai dirawat di rumah sakit karena beratnya penugasan selama belajar daring. Kemudian, ada juga siswa tidak naik kelas karena tidak bisa mengikuti belajar daring atau mengikuti ujian secara daring.

“Seorang siswa SMAN di salah satu sekolah di DKI Jakarta mengalami kelelahan dan stres saat mengerjakan tugas-tugas sekolah, terutama pada tugas mata pelajaran kimia. Siswa tersebut sudah berusaha menyelesaikan tugas-tugas berat yang waktu pengerjaannya pendek itu, tetapi karena kelelahan, siswa tersebut jatuh sakit hingga harus dilarikan ke IGD salah satu rumah sakit,” sebut Retno, Kamis (23/7/2020), dikutip Antara.

Selain itu, lanjutnya, ada juga siswa kelas X SMA Negeri di Nganjuk, Jawa Timur, berinisial RVR yang dilaporkan tidak naik kelas karena tidak bisa mengikuti ujian Penilaian Akhir Tahun (PAT) secara daring.

Siswa tersebut tidak bisa ikut ujian karena komputer jinjing milik siswa tersebut rusak. Nilai akhir raport siswa ini tidak mencapai Kriteria Ketuntasan Minimum (KKM).

“Ada faktor kerusakan perangkat, keterbatasan kuota, masalah sinyal, dan hambatan teknis lainnya. Mestinya sekolah bersikap bijak dan tidak bertindak semaunya,” kata Retno.

Kebijakan untuk mempertimbangkan berbagai kendala yang dihadapi siswa tersebut, katanya, perlu benar-benar diperhatikan oleh sekolah. Sebab, belajar daring masih akan dilaksanakan selama semester ini.

“Dengan begitu kasus siswa tidak naik kelas karena kesulitan PJJ daring dapat diminimalkan,” tandas Retno.

Selain kasus anak putus sekolah, KPAI juga menerima laporan salah satu SMKN di Jawa Timur tidak menaikkan siswa karena siswa tersebut tidak menyerahkan tugas-tugas selama PJJ daring.

Orang tua siswa bersikeras mengatakan bahwa anaknya sudah menyerahkan tugas meskipun waktu penyerahannya sudah mendekati tenggat waktu. Orang tua tersebut mengatakan selama pandemi, tidak ada interaksi antara guru dengan siswa. Para siswa hanya diberi penugasan.

Lalu, orang tua siswa tersebut dipanggil oleh sekolah dan mendapat penjelasan anaknya akan diberikan kelonggaran jika bersedia dimasukkan sebagai Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Sebab anak tersebut memiliki IQ 89 dan kesulitan dalam menulis, padahal mayoritas penugasan selama belajar daring adalah menulis.

“Orang tua anak yang disebut ABK itu mengaku anaknya memiliki kemampuan verbal dan psikomotor yang baik. Anak tersebut kemudian menjadi tertekan secara psikologis karena dirinya dianggap sebagai anak berkebutuhan khusus. Akhirnya, orang tua siswa tersebut lebih memilih anaknya mengundurkan diri dari sekolah tersebut,” imbuh Retno. (des)***